Hikmah ke-30 dan ke-31 dari Kitab Al-Hikam
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in.
Nawaitu ta’alluma wa ta’liman, wa tazakkura wa tazkiran, wa naf’a wa intifa’an, wal istifada wal ifadah, wal hatha ‘ala tamassuki bi kitabillahi wa sunnati rasulillah, wa du’a’a ila al-huda, wa dalalata ‘ala al-khairi ibtigha’a wajhillahi wa ridwanihi subhanahu wa ta’ala.
Amma ba’du.
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di pagi hari ini, di waktu yang sangat barokah ini, kita masih diberikan nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, diberikan pertolongan dan ma’unah dari-Nya, sehingga kita bisa melaksanakan salat Subuh secara berjamaah. InsyaAllah akan kita lanjutkan dengan majelis taklim, yaitu pembacaan Kitab Al-Hikam yang dikarang oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari.
Mudah-mudahan apa yang kita lakukan ini menjadi pemberat amal kita nanti di akhirat. Amin. Allahumma amin. Amin.
Kita akan melanjutkan hikmah yang ke-30 dari Kitab Al-Hikam karangan Syekh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari.
Qāla al-Musannif rahimahullāhu ta‘ālā, wafānanā bihi wa bi ‘ulūmihi wa adāna bimā ḥuwa aḥsan.
الَّذِينَ إِلَيْهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ أَسَائِرُونَ إِلَيْهِ لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ
“Hendaklah orang yang mempunyai kelapangan menginfakkan dari kelapangannya; dan barang siapa yang dibatasi rezekinya, maka mereka adalah orang-orang yang sedang menempuh perjalanan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Hikmah ke-30 ini memiliki makna bahwa manusia yang menempuh jalan kepada Allah terbagi menjadi dua golongan.
Pertama, golongan wasilun, yaitu orang-orang yang sudah sampai kepada Allah, sudah mengenal hakikat Allah, dan mencapai derajat ma’rifatullah.
Kedua, golongan salikun, yaitu orang-orang yang masih menempuh jalan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bagi orang yang sudah sampai kepada Allah, disebutkan:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ
“Hendaklah orang yang mempunyai kelapangan menginfakkan dari kelapangannya.”
Maksudnya, orang yang sudah sampai kepada Allah dan telah mengenal hakikat Allah wajib mengajak manusia lain agar juga bisa mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kenikmatan makrifat jangan hanya dinikmati sendiri. Jika kita sudah merasakan manisnya beribadah, maka kita perlu mengajak orang lain untuk turut merasakannya.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Lā yu’minu aḥadukum ḥattā yuḥibba li akhīhi mā yuḥibbu linafsih.”
“Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai bagi saudaranya sesuatu yang ia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, kalau kita sudah merasakan nikmatnya salat berjamaah, bersedekah, dan beribadah dengan ikhlas, maka kita pun perlu mengajak orang lain untuk turut merasakan nikmat tersebut.
Itulah makna “menginfakkan dari kelapangannya”.
Dakwah bukan hanya tugas para ustaz atau alumni Timur Tengah.
Setiap profesi bisa menjadi sarana dakwah — entah guru, pegawai, sopir, bahkan tukang pijat — asalkan niatnya mengajak manusia kepada Allah.
Dakwah bisa dilakukan lewat media sosial, pengajaran, nasihat keluarga, atau konten yang bermanfaat.
Adapun orang yang rezekinya terbatas, disebutkan:
وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ
Artinya, orang yang sedang menempuh jalan menuju Allah pun tetap perlu memberi dan berbagi sesuai kemampuannya.
Kemudian hikmah yang ke-31 berbunyi:
إِلَيْهِ بِأَنْوَارِ تَوَجُّهِهِ وَالْوَاصِلُونَ لَهُمْ أَنْوَارُ الْمُوَاجَهَةِ، الْأَوَّلُونَ لِلْأَنْوَارِ وَهَؤُلَاءِ الْأَنْوَارُ لَهُمْ، لِأَنَّهُمْ لِلَّهِ لَا لِغَيْرِهِ، قُلِ اللَّهُ، ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
Artinya:
“Orang-orang yang sedang menempuh jalan kepada Allah, mereka mencari petunjuk dengan cahaya-cahaya tawajjuh. Sedangkan orang-orang yang sudah sampai kepada Allah, bagi mereka cahaya-cahaya perjumpaan dengan Allah. Golongan pertama mencari cahaya, sedangkan golongan kedua memiliki cahaya. Karena mereka adalah untuk Allah, bukan untuk selain-Nya. Katakanlah: Allah! Lalu biarkan mereka dalam kesibukan mereka bermain-main.”
Hikmah ini mirip dengan hikmah ke-30. Ia membahas dua golongan manusia: ar-rahilun (orang yang sedang menempuh jalan kepada Allah) dan al-wasilun (orang yang sudah sampai kepada Allah).
Orang yang sedang menempuh jalan kepada Allah menggunakan dalil-dalil ciptaan — seperti fenomena alam, keteraturan semesta, atau diri manusia — untuk sampai kepada keyakinan akan adanya Sang Pencipta.
Mereka ini disebut salik, orang yang mencari cahaya.
Sedangkan wasilun, orang yang sudah makrifat kepada Allah, mereka tidak lagi berdalil kepada ciptaan untuk mengenal Allah, tetapi justru dengan Allah mereka mengenal ciptaan. Mereka telah memiliki anwarul muwajahah — cahaya perjumpaan dengan Allah.
Orang yang salik ibarat seseorang yang berjalan dalam kegelapan menuju cahaya, masih mencari jalan dengan bias-bias cahaya.
Sedangkan orang yang wasil adalah pemilik cahaya itu sendiri — sudah tahu arah, sudah sampai pada sumber cahaya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hikmah 29, 30, dan 31 memiliki benang merah yang sama: bahwa manusia dalam perjalanan menuju Allah terbagi menjadi dua golongan besar — salik dan wasil.
Mayoritas kita masih dalam derajat salik, terus berusaha mendekat dan mencari cahaya Allah.
Orang yang wasil, yang sudah makrifat, tidak lagi sibuk dengan dunia.
Mereka menyadari bahwa dunia hanyalah tempat singgah sementara, sebagaimana musafir yang hanya membawa bekal secukupnya.
Kematian menjadi pengingat bahwa semua kemegahan dunia akan ditinggalkan.
Mobil mewah, rumah besar, tidak akan ikut ke liang kubur.
Yang akan menemani hanyalah amal ibadah kita.
Maka, cukuplah kehadiran di pemakaman menjadi pengingat bahwa suatu saat kita pun akan sampai di sana.
Semoga kita termasuk golongan yang terus menempuh jalan menuju Allah hingga akhirnya sampai kepada-Nya dalam ridha dan rahmat-Nya.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
No comments:
Post a Comment