Menyertakan Allah dalam Segala Urusan: Menggali Hikmah ke-25 dari Kitab Al-Hikam
Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Pagi hari adalah waktu yang penuh keberkahan. Rasulullah ﷺ sendiri pernah berdoa, “Allahummarham ummati fi bukuriha” — Ya Allah, rahmatilah umatku di waktu pagi mereka. Maka, ketika seorang hamba dapat melaksanakan shalat Subuh berjamaah dan menghadiri majelis ilmu setelahnya, sesungguhnya ia sedang menikmati salah satu nikmat besar dari Allah. Sebab, majelis ilmu adalah riyadhul jannah (taman surga) di dunia, tempat di mana nama Allah disebut dan ilmu agama ditimba.
Dalam kajian ini, kita sampai pada hikmah ke-25 dari kitab Al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari rahimahullah, yang berbunyi:
“Ma tawaqofa matlubun anta thalibuhu bima rabbika, wa la tayassara matlubun anta thalibuhu binafsik.”
“Tidaklah terhenti sebuah hajat yang engkau sertakan Allah di dalamnya, dan tidaklah menjadi mudah sebuah hajat yang engkau sandarkan hanya kepada dirimu sendiri.”
Makna Hikmah ke-25
-----------------
Hikmah ini menegaskan bahwa setiap keinginan, doa, dan usaha seorang hamba harus disertai dengan tawakal dan pengharapan kepada Allah. Jika seorang hamba meminta kepada Allah, maka hajat itu tidak akan terhenti — karena ada taufik dan pertolongan dari-Nya. Namun, bila seseorang hanya mengandalkan dirinya sendiri, maka urusan itu akan terasa sulit dan berat, sebab ia terbatas dan lemah.
Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
“Yā ayyuhannāsu antumul fuqara’u ilallāh, wallāhu huwal ghaniyyul hamīd.”
(Wahai manusia, kalian semua adalah fakir kepada Allah; dan Allah-lah yang Mahakaya lagi Maha Terpuji). (QS. Fathir: 15)
Manusia tidak pernah lepas dari kefakiran kepada Allah — baik dalam urusan ilmu, kesehatan, maupun aktivitas sehari-hari. Tanpa pertolongan Allah, bahkan dalam satu detik saja, manusia akan lumpuh dan tidak berdaya.
Para ulama menyebut ada dua nikmat pokok yang senantiasa kita rasakan:
1. Nikmatul Ijād – Nikmat keberadaan. Kita diciptakan oleh Allah tanpa pernah diminta atau diusulkan. Lawannya adalah ketiadaan, dan itu adalah kerugian yang besar.
2. Nikmatul Imdād – Nikmat suplai terus-menerus. Setiap detik, Allah tidak pernah berhenti memberi kehidupan, rezeki, dan kekuatan.
Rasulullah ﷺ mengajarkan dzikir agung: “La haula wa la quwwata illa billah” — Tidak ada daya untuk taat dan tidak ada kekuatan untuk meninggalkan maksiat kecuali dengan pertolongan Allah.
Menyertakan Allah dalam Sejarah Umat Islam
------------------------------------------
Hikmah ini tidak hanya teoritis, melainkan terbukti dalam sejarah perjuangan umat Islam. Rasulullah ﷺ mencontohkan dalam Perang Badar. Jumlah kaum muslimin hanya 314 orang melawan lebih dari 1000 pasukan Quraisy. Rasulullah ﷺ menyiapkan strategi dengan matang, namun di malam menjelang pertempuran, beliau bersungguh-sungguh berdoa kepada Allah hingga menangis. Keesokan harinya, kemenangan besar pun diraih dengan izin Allah.
Demikian pula pada pembebasan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Selain persiapan militer yang hebat, doa dan rintihan kepada Allah menjadi faktor penentu kemenangan.
Sebaliknya, dalam Perang Hunain, kaum muslimin sempat kalah karena merasa bangga dengan jumlah mereka yang besar. Hal ini menegaskan bahwa rasa cukup dengan diri sendiri adalah sebab utama kesulitan dan kegagalan.
Istidraj bagi Orang Kafir
-------------------------
Ada yang bertanya: mengapa orang kafir banyak yang kaya dan hidup enak, padahal tidak menyertakan Allah? Jawabannya adalah istidraj. Itu kenikmatan yang Allah beri sementara, namun akan berakhir dengan azab di akhirat. Kejayaan dunia tanpa iman bukanlah tanda kemuliaan, melainkan jebakan yang menipu.
Pentingnya Zikir dan Tawakal
----------------------------
Rasulullah ﷺ juga pernah memberi solusi kepada seorang ibu yang anaknya tertawan musuh: beliau menyuruhnya memperbanyak dzikir “La haula wa la quwwata illa billah”. Dengan izin Allah, anak itu akhirnya kembali. Dzikir adalah bentuk kesadaran seorang hamba akan kelemahannya dan pengakuan akan kekuatan Allah.
Allah berfirman:
“Fadzkurūnī adzkurkum” — Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepada kalian. (QS. Al-Baqarah: 152)
Penutup
-------
Hikmah ke-25 dari Al-Hikam mengajarkan kita untuk tidak pernah mengandalkan diri sendiri. Sertakan Allah dalam setiap doa, usaha, dan langkah. Tanpa pertolongan-Nya, manusia hanyalah makhluk lemah dan fakir.
Maka, marilah kita biasakan diri untuk:
- Memulai setiap aktivitas dengan menyebut nama Allah.
- Memperbanyak dzikir, terutama “La haula wa la quwwata illa billah.”
- Menyadari bahwa semua nikmat datangnya dari Allah.
- Meneladani Rasulullah ﷺ dan para pejuang Islam yang menyeimbangkan usaha dengan doa.
Dengan demikian, kita akan selalu mendapat bimbingan dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu a’lam bish-shawab.