Saturday, October 4, 2025

Pemetaan ilmu syar'i

 Oleh : Syaikh Mustafa Abdunnabi

Bagus, ini adalah transkrip Arab yang padat dan informatif mengenai kedudukan ilmu Fiqih dan pentingnya ilmu-ilmu alat (wasā'il) dalam mempelajarinya.
​Berikut adalah penataan ulang transkrip tersebut agar lebih mudah dibaca, dengan penambahan poin-poin dan judul untuk memisahkan ide-ide utama:
​Kedudukan Ilmu Fiqih dan Keharusan Mempelajarinya
Fiqih adalah ilmu yang paling sulit di antara semua ilmu. Sebagian orang menyangka Fiqih itu mudah, dan yang sulit adalah Ushul Fiqih atau Ilmu Kalam. Namun, yang benar, Fiqih adalah yang tersulit karena ia merupakan buah (tsamrah) dari semua ilmu lainnya.
​Para fuqaha (ahli Fiqih) zaman dahulu berkata,
"Fiqih adalah singa di balik pakaian kambing."

​Ketika kamu melihatnya, kamu mengira ia adalah kambing yang mudah, jadi kamu mendekat tanpa takut. Tapi ketika kamu mendekat, ia akan memakanmu karena ia adalah singa.
​Oleh karena itu, banyak orang berbicara tentang Fiqih tanpa disiplin ilmu (dābit) atau korelasi (rābit), yang menyebabkan menjamurnya para mufti (pemberi fatwa) dan penyimpangan (syudzūdzāt) yang keluar dari lisan mereka.
​Maka, salah satu kewajiban di masa ini adalah menguasai (itqān) studi Fiqih. Bahkan, tidak belajar Fiqih sama sekali lebih baik daripada mempelajarinya secara dangkal. Sebab, orang jahil murni tidak membahayakan karena ia tidak berbicara. Bahaya terbesar justru datang dari "setengah ulama" yang mengetahui sesuatu tidak pada hakikatnya yang benar. Ia mengira dirinya 'ārif (mengetahui) dan 'ālim (ulama), lalu berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu, sehingga menyesatkan orang lain setelah dirinya sendiri tersesat.
​Jika kamu ingin memulai belajar Fiqih, kamu harus masuk total (bi kulliyyatika); jangan menyia-nyiakan studi Fiqih. Ini seharusnya menjadi tugas seumur hidup, karena semua ilmu pada akhirnya adalah pelayan bagi ilmu-ilmu Maqāshid (tujuan utama).
​Pembagian Ilmu: Wasā'il dan Maqāshid
​Secara umum, ilmu dibagi menjadi dua:
• ​'Ulūm al-Wasā'il (Ilmu-ilmu Alat): Ilmu-ilmu penunjang.
• ​'Ulūm al-Maqāshid (Ilmu-ilmu Tujuan): Ilmu-ilmu utama.
Ilmu-ilmu Maqāshid ada tiga:
• ​Fiqih
• ​Hadits
• ​Tafsir
​Seorang penuntut ilmu tidak akan bisa menguasai tiga ilmu tujuan ini kecuali ia juga menguasai ilmu-ilmu Wasā'il. Ilmu Wasā'il adalah ilmu-ilmu bantu (mu'īnah), ilmu-ilmu alat (ālāt) yang dengannya kita bisa memahami Al-Qur'an dan Sunnah, serta dapat menyimpulkan (istinbāt) hukum-hukum Fiqih dari dalil-dalil syar'i.
​Jenis-Jenis Ilmu Wasā'il (Ilmu-ilmu Alat)
​Ilmu-ilmu Wasā'il terbagi menjadi tiga kelompok utama:
​1. 'Ulūm al-Lisāniyyah (Ilmu-ilmu Kebahasaan)
​Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bahasa Arab:
Ilmu
Fokus Utama
Matn al-Lughah (Leksikologi/Kamus)
Mengetahui makna lafaz dan cara mencari di dalam kamus (misalnya, mencari kata pada bab huruf asli/akar kata).
'Ilm an-Nahwu (Sintaksis)
Mengatur dhobt (tanda baca akhir) kata-kata, karena pemahaman makna seringkali tergantung pada pemahaman i'rāb (perubahan harakat akhir).
'Ilm ash-Sharf (Morfologi)
Mempelajari struktur (biniyah) kata untuk mengetahui huruf asli dan huruf tambahan.
'Ilm al-Isytiqāq (Etimologi)
Meninjau akar kata; mencari kumpulan kata yang memiliki asal-usul yang sama (misalnya, al-insān dan al-ins).
'Ilm al-Balāghah (Retorika)
Mempelajari kesesuaian perkataan dengan konteks (muqtaḍā al-hāl). Cabangnya meliputi: 'Ilm al-Ma'āni, 'Ilm al-Bayān, dan 'Ilm al-Badī'.
'Ilm al-Wadh'i (Semantik)
Mempelajari penggunaan (awdhā') bahasa Arab, misalnya, apakah dhamīr (kata ganti) seperti anta (kamu) merujuk pada individu tertentu atau berlaku untuk setiap mukallaf (yang dibebani syariat).
2. 'Ulūm an-Naqliyyah (Ilmu-ilmu Transmisi)
​Ilmu-ilmu yang bergantung pada riwayat dari ulama terdahulu, khususnya Ilmu Hadits dan cabang-cabangnya:
Cabang Ilmu Hadits
Fokus Utama
'Ilm al-Musthalah (Terminologi Hadits)
Mempelajari definisi Hadits shahīh, hasan, syādz, munkar, munqaṭi', dan lain-lain.
'Ilm ar-Rijāl (Biografi Perawi)
Dikenal sebagai al-Jarh wa at-Ta'dīl (Pencacatan dan Penetapan Keadilan). Mempelajari kondisi perawi, khususnya ketika terjadi perbedaan pendapat di antara ulama (misalnya, Ibn Hibbān men-tsiqah-kan, sementara Bukhāri meninggalkannya).
'Ilm al-'Ilal (Penyakit Hadits)
Mempelajari 'illah (cacat tersembunyi) yang melemahkan Hadits meskipun sanad dan matannya tampak baik.
3. 'Ulūm al-'Aqliyyah (Ilmu-ilmu Rasional)
​Yang dimaksud dengan 'Aql (Akal) di sini bukanlah alat indra pemahaman di kepala, melainkan hukum-hukum qath'iyyah ('aqliyyah) (keputusan rasional yang pasti) yang tidak mungkin diselisihkan oleh dua orang berakal, seperti: "Dua hal yang kontradiktif tidak dapat berkumpul dan tidak dapat terangkat bersamaan."
​Jika ada pertentangan zhāhir (yang tampak) antara akal dan naql (teks syar'i), maka akal harus didahulukan dan teks di-ta'wīl (diinterpretasikan), karena tidak mungkin syariat datang dengan hal yang bertentangan dengan kepastian akal (badāhat al-'uqūl).
​Ilmu-ilmu yang mengurus kaidah-kaidah rasional ini adalah:
Ilmu
Fokus Utama
'Ilm al-Manṭiq (Logika)
Mempelajari keadaan Ta'rīf (Definisi) dan Dalīl (Argumen). Digunakan untuk mengetahui sesuatu yang majhūl (belum diketahui), baik berupa makna (tasawwurat) maupun keabsahannya (tashdīqāt).
'Ilm al-Bahs wal-Munāẓarah (Ilmu Diskusi dan Debat)
Mempelajari cara meninjau argumen, cara membangun, menguatkan, atau merobohkan dalil, serta cara menolak syubhat (kerancuan) yang menyerang dalil yang sudah pasti.
'Ulūm al-'Āmmah (Metafisika)
Dikenal sebagai Falsafah atau Ḥikmah. Mempelajari umūr 'āmmah (perkara umum) pada seluruh maujūdāt (yang ada), seperti konsep Wujūd (eksistensi), Wājib (wajib ada), Mumkin (mungkin ada), Jauhar (substansi), dan 'Aradh (sifat yang menempel).
4. 'Ulūm Murakkabah (Ilmu-ilmu Gabungan)
​Ilmu-ilmu yang merupakan alat, tetapi disusun dari gabungan ilmu-ilmu sebelumnya:
Ilmu
Fokus Utama
'Ilm at-Tauhīd (Teologi/Akidah)
Ilmu wasā'il karena ia menjadi alat untuk memahami Al-Qur'an dan Sunnah (setiap tafsir ditulis sesuai keyakinan penulisnya), dan juga ilmu maqṣūd (tujuan) untuk membenarkan akidah. Ilmu ini adalah gabungan rasional dan naqli (teks).
'Ilm Ushūl al-Fiqh (Metodologi Fiqih)
Merupakan Ushūl al-Fahm (prinsip-prinsip pemahaman) yang tidak hanya dibutuhkan dalam Fiqih, tetapi juga dalam Hadits dan Tafsir. Membahas dalālāt al-alfāzh (makna lafaz), seperti 'ām (umum), khāṣ (khusus), mujmal (global), mubayyan (dijelaskan), nāsikh (menghapus), dan mansūkh (dihapus).
Tahapan Belajar Fiqih
​Seorang penuntut ilmu memiliki tahapan: Mubtadi' (pemula), Mutawassith (menengah), dan Muntahī (mahir).
PENTING:
• ​Tidak perlu menunggu sampai menguasai semua ilmu wasā'il baru mulai belajar Fiqih.
• ​Ilmu-ilmu Maqāshid (terutama Fiqih) wajib dipelajari sejak tahap mubtadi' karena Fiqih adalah tugas seumur hidup.
• ​Di awal, kamu akan mempelajari Fiqih pada level yang mudah; kamu tidak akan diminta langsung menjadi mustanbit (penyimpul hukum) seperti Imam Syafi'i.
• ​Kenaikan level dalam Fiqih harus seiring dengan kenaikan level dalam menguasai ilmu wasā'il.
​Pada akhirnya, ketika kamu mencapai tingkatan yang membutuhkan Naẓar (analisis dan ijtihad), kamu sudah terbekali dengan ilmu-ilmu wasā'il.
​Pembagian Fiqih
​Fiqih terbagi menjadi empat bagian utama:
• ​'Ibādāt (Ibadah): Termasuk Shalat, Zakat, Shaum (puasa), dan Haji. (Dimulai dengan Thahārah karena ia adalah syarat shalat).
• ​Mu'āmalāt al-Māliyyah (Transaksi Keuangan)
• ​Munākaḥāt (Pernikahan)
• ​Jināyāt wa Tawābi'uhā (Pidana dan Hal-hal Terkait)
​Pembagian ini sesuai dengan urutan rukun Islam, kecuali Syahādatain (dua kalimat syahadat) yang dipisahkan ke dalam Ilmu Tauhid karena ia sudah menjadi ilmu tersendiri.

Kuliah Umum Ushul Fiqh

 Oleh : Dr. Habib Ali Baqir Assegaf

Beliau juga tercatat sebagai staf pengajar di berbagai lembaga di Yordania dan Malaysia, hingga kini mendirikan Pondok Pesantren Masalikul Huda di Tulungagung yang fokus pada ilmu Aqliyah dan Naqliyah (Ilmu Kalam, Mantik, Filsafat, Fikih, dan Ushul Fikih).
​Menelanjangi Makna Judul Kuliah Umum
​Habib Ali Baqir Assegaf memulai dengan tawadhu dan Analisis Istilah (Alfazh Tsalasah) dari judul.
• ​Tatawwur (Perkembangan/Evolusi) Ilmu Ushul Fikih adalah ilmu yang sudah matang (Nadhaja)—artinya kaidah ushul fikih yang baru tidak mungkin ditemukan lagi, berbeda dengan Ilmu Kalam yang masih terus berkembang.
• ​Al-Fikr Al-Ushuli (Nalar Ushul) Fikr adalah pergerakan jiwa (harakatul nafs) dalam perkara yang hanya dapat dipahami oleh akal (makulat). Beliau menjelaskan bahwa Fikih dalam Ushul Fikih dimaknai sebagai Fiqhul A'am (pemahaman mutlak tentang agama, baik yang amali maupun i’tiqadi), bukan hanya Fiqhul Ashghar (Fikih Amali). Pemahaman ini menjawab mengapa Ushul Fikih membahas hal-hal terkait Ilmu Kalam, seperti Tahsin wa Takbih 'Aqlian.
• ​Indal Mutakallimin (Menurut Mutakallimin) Mutakallimin adalah orang yang mendalami Ilmu Kalam. Ilmu Kalam bukan hanya kumpulan masalah (masail), tetapi juga metodologi berpikir (thariqatul tafkir) yang fokus pada Adillatul Aqaid (dalil-dalil akidah).
• ​Perkembangan Ushul Fikih (Indal Mutakallimin) Berbeda dengan Mazhab Hanafi (thariqatul fuqaha), Mazhab Syafi'i beruntung karena Imam Syafi'i sudah meninggalkan Ar-Risalah, yang merupakan karya ushul fikih pertama yang menggunakan thariqatul mutakallimin. Perkembangan ini tidak lepas dari perdebatan antara Madrasah Ahlul Rayi (di Irak) dan Madrasah Ahlul Hadits (di Hijaz).
​Habib Ali Baqir Assegaf menutup pemaparan awal dengan menekankan bahwa ilmu yang berhubungan dengan akal, seperti Ushul Fikih, Ilmu Kalam, dan Mantik, seringkali disalahpahami, padahal Al-Qur'an sendiri selalu memuliakan akal.
​Silakan salin seluruh teks di atas dan tempelkan ke Microsoft Word Anda.

Ini adalah reformulasi transkrip menjadi artikel yang membahas tentang metode berpikir dalam penetapan kebenaran dan dua madrasah utama dalam Ushul Fikih.
Menerapkan Logika dan Memahami Perbedaan Madrasah dalam Ushul Fikih
Prinsip Logika dalam Pembuktian Klaim
​Dalam menetapkan suatu kebenaran, salah satu cara yang efektif adalah dengan membatalkan klaim lawan. Dalam ilmu logika, ini dikenal dengan istilah Mabdaut Tanakud (prinsip kontradiksi). Prinsip ini menyatakan bahwa tidak mungkin dua klaim yang bertentangan sama-sama benar atau sama-sama salah; salah satunya pasti benar. Jika Anda berhasil membuktikan klaim lawan salah, maka secara otomatis klaim Anda menjadi benar.
​Metode pembuktian tidak langsung ini, yang membatalkan klaim lawan untuk membenarkan klaim sendiri, disebut Dalilul atau Burhanul Khuluf dalam ilmu mantik. Caranya adalah dengan melihat kelaziman atau konsekuensi (lawazim) dari sebuah masalah. Jika konsekuensinya batal (id batalla lazim bathalal malzum), maka masalah pokoknya pun batal.
Dua Metode Ushul Fikih: Mutakallimin vs. Fuqaha
​Metode penetapan hukum atau Ushul Fikih umumnya terbagi menjadi dua madrasah (aliran) utama, yaitu Tareiqatul Mutakallimin (Ahli Kalam) dan Tareiqatul Fuqaha (Ahli Fikih), serta kemudian muncul Tareiqatul Jam’i (metode gabungan). Perbedaan mendasar keduanya adalah cara mereka memulai pembahasan:
• ​Tareiqatul Mutakallimin:
• ​Mulai dari atas (prinsip umum): Membangun kaidah-kaidah ushul fikih secara teoretis, filosofis, dan logis (kulliyat), dan menggunakan metode deduktif.
• ​Tidak terikat furu’ (cabang fikih): Kaidah dibangun tanpa melihat apakah kaidah tersebut sesuai atau bertentangan dengan masalah-masalah fikih yang sudah ada dalam mazhab. Mereka cenderung objektif (mujarad) dan mengikuti hasil dalil, bahkan jika itu berseberangan dengan pendapat imam mazhab mereka, karena dalam tataran ushul, mereka adalah mujtahid (wal mujtahid la yuqallid mujtahidan).
• ​Dipengaruhi Ilmu Kalam dan Mantik: Mereka memasukkan pembahasan kebahasaan, logika (mantikiyah), dan masalah-masalah teologis (kalamiah) seperti tahsin wa takbih ‘aqli (menetapkan baik-buruk dengan akal) karena relevansinya dengan istimbatul ahkam (pengambilan hukum).
• ​Kesenjangan dengan Fikih: Karena fokus pada kaidah umum, seringkali timbul kesenjangan (gap) antara Ushul Fikih dan Fikih (furu’). Untuk menjembatani ini, muncul sub-disiplin ilmu baru, yaitu Fannu Takhrijil Furu’ ‘alal Ushul.
• ​Sifat Kaidah: Kaidah Ushul Fikih dilihat sebagai manhaj umum (manhajun ‘am) yang bisa diterapkan pada semua jenis teks, termasuk hukum perundang-undangan (nusus qonuniyah), tidak hanya pada naskah fikih.
• ​Tareiqatul Fuqaha (Aliran Hanafiyah):
• ​Mulai dari bawah (kasus partikular): Kaidah ushul fikih dibentuk berdasarkan kasus-kasus cabang (furu’) fikih yang sudah ada dalam mazhab mereka (terutama Hanafi). Mereka menggunakan metode induktif.
• ​Terikat furu’: Kaidah harus kompatibel dengan furu’ fikih mazhab mereka. Jika furu’ salah, kaidah pun dianggap salah.
• ​Fokus pada Fikih: Ushul Fikih dianggap hanya sebagai khadim li’ilmil fikih (pelayan bagi ilmu fikih) dan hanya digunakan untuk mengolah naskah-naskah fikih.
Karya-karya Utama
​Kitab-kitab Ushul Fikih dari Tareiqatul Mutakallimin yang penting (sering berpusat pada Burhan, Mustasfa, Mu'tamad, dan 'Umad) kemudian diikhtisar dan disyarah, salah satunya adalah Minhajul Ushul karya Al-Baidowi, yang menjadi rujukan utama. Sementara itu, Tareiqatul Jam’i (yang menggabungkan kedua metode) dipelopori oleh Tajuddin As-Subuki dalam Jam’ul Jawami’ yang populer.
Pentingnya Memahami Akar Ilmu
​Kritik terhadap para penuntut ilmu saat ini adalah kecenderungan untuk skip (melewati) bab-bab awal yang dianggap rumit, seperti pembahasan logika dan ilmu kalam, karena dianggap tidak relevan. Padahal, masalah-masalah rumit (masail almu’aqqadah) dalam fikih merupakan hasil dari hadf wal ikhtisar (pembuangan dan peringkasan) dari generasi sebelumnya yang menganggapnya jelas. Ilmu Ushul Fikih, apalagi yang ditulis dengan metode Mutakallimin yang pekat, membutuhkan instrumen ilmu mantik dan ilmu kalam yang kuat untuk dipahami secara utuh.
​Anda bisa mempelajari lebih lanjut tentang perbedaan metode ini melalui video Perbandingan Metode Mutakallimin dan Fuqaha dalam Perumusan Kaidah Usul Fiqh yang membahas perbandingan kedua madrasah dalam merumuskan kaidah Ushul Fikih.

Wednesday, October 1, 2025

Menyertakan Allah dalam Segala Urusan (Al hikam #25)

 Menyertakan Allah dalam Segala Urusan: Menggali Hikmah ke-25 dari Kitab Al-Hikam


Bismillahirrahmanirrahim.

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman.

Pagi hari adalah waktu yang penuh keberkahan. Rasulullah ﷺ sendiri pernah berdoa, “Allahummarham ummati fi bukuriha” — Ya Allah, rahmatilah umatku di waktu pagi mereka. Maka, ketika seorang hamba dapat melaksanakan shalat Subuh berjamaah dan menghadiri majelis ilmu setelahnya, sesungguhnya ia sedang menikmati salah satu nikmat besar dari Allah. Sebab, majelis ilmu adalah riyadhul jannah (taman surga) di dunia, tempat di mana nama Allah disebut dan ilmu agama ditimba.

Dalam kajian ini, kita sampai pada hikmah ke-25 dari kitab Al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari rahimahullah, yang berbunyi:

“Ma tawaqofa matlubun anta thalibuhu bima rabbika, wa la tayassara matlubun anta thalibuhu binafsik.”

“Tidaklah terhenti sebuah hajat yang engkau sertakan Allah di dalamnya, dan tidaklah menjadi mudah sebuah hajat yang engkau sandarkan hanya kepada dirimu sendiri.”

Makna Hikmah ke-25

-----------------

Hikmah ini menegaskan bahwa setiap keinginan, doa, dan usaha seorang hamba harus disertai dengan tawakal dan pengharapan kepada Allah. Jika seorang hamba meminta kepada Allah, maka hajat itu tidak akan terhenti — karena ada taufik dan pertolongan dari-Nya. Namun, bila seseorang hanya mengandalkan dirinya sendiri, maka urusan itu akan terasa sulit dan berat, sebab ia terbatas dan lemah.

Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:

“Yā ayyuhannāsu antumul fuqara’u ilallāh, wallāhu huwal ghaniyyul hamīd.”

(Wahai manusia, kalian semua adalah fakir kepada Allah; dan Allah-lah yang Mahakaya lagi Maha Terpuji). (QS. Fathir: 15)

Manusia tidak pernah lepas dari kefakiran kepada Allah — baik dalam urusan ilmu, kesehatan, maupun aktivitas sehari-hari. Tanpa pertolongan Allah, bahkan dalam satu detik saja, manusia akan lumpuh dan tidak berdaya.

Para ulama menyebut ada dua nikmat pokok yang senantiasa kita rasakan:

1. Nikmatul Ijād – Nikmat keberadaan. Kita diciptakan oleh Allah tanpa pernah diminta atau diusulkan. Lawannya adalah ketiadaan, dan itu adalah kerugian yang besar.

2. Nikmatul Imdād – Nikmat suplai terus-menerus. Setiap detik, Allah tidak pernah berhenti memberi kehidupan, rezeki, dan kekuatan.

Rasulullah ﷺ mengajarkan dzikir agung: “La haula wa la quwwata illa billah” — Tidak ada daya untuk taat dan tidak ada kekuatan untuk meninggalkan maksiat kecuali dengan pertolongan Allah.

Menyertakan Allah dalam Sejarah Umat Islam

------------------------------------------

Hikmah ini tidak hanya teoritis, melainkan terbukti dalam sejarah perjuangan umat Islam. Rasulullah ﷺ mencontohkan dalam Perang Badar. Jumlah kaum muslimin hanya 314 orang melawan lebih dari 1000 pasukan Quraisy. Rasulullah ﷺ menyiapkan strategi dengan matang, namun di malam menjelang pertempuran, beliau bersungguh-sungguh berdoa kepada Allah hingga menangis. Keesokan harinya, kemenangan besar pun diraih dengan izin Allah.

Demikian pula pada pembebasan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Selain persiapan militer yang hebat, doa dan rintihan kepada Allah menjadi faktor penentu kemenangan.

Sebaliknya, dalam Perang Hunain, kaum muslimin sempat kalah karena merasa bangga dengan jumlah mereka yang besar. Hal ini menegaskan bahwa rasa cukup dengan diri sendiri adalah sebab utama kesulitan dan kegagalan.

Istidraj bagi Orang Kafir

-------------------------

Ada yang bertanya: mengapa orang kafir banyak yang kaya dan hidup enak, padahal tidak menyertakan Allah? Jawabannya adalah istidraj. Itu kenikmatan yang Allah beri sementara, namun akan berakhir dengan azab di akhirat. Kejayaan dunia tanpa iman bukanlah tanda kemuliaan, melainkan jebakan yang menipu.

Pentingnya Zikir dan Tawakal

----------------------------

Rasulullah ﷺ juga pernah memberi solusi kepada seorang ibu yang anaknya tertawan musuh: beliau menyuruhnya memperbanyak dzikir “La haula wa la quwwata illa billah”. Dengan izin Allah, anak itu akhirnya kembali. Dzikir adalah bentuk kesadaran seorang hamba akan kelemahannya dan pengakuan akan kekuatan Allah.

Allah berfirman:

“Fadzkurūnī adzkurkum” — Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepada kalian. (QS. Al-Baqarah: 152)

Penutup

-------

Hikmah ke-25 dari Al-Hikam mengajarkan kita untuk tidak pernah mengandalkan diri sendiri. Sertakan Allah dalam setiap doa, usaha, dan langkah. Tanpa pertolongan-Nya, manusia hanyalah makhluk lemah dan fakir.

Maka, marilah kita biasakan diri untuk:

- Memulai setiap aktivitas dengan menyebut nama Allah.

- Memperbanyak dzikir, terutama “La haula wa la quwwata illa billah.”

- Menyadari bahwa semua nikmat datangnya dari Allah.

- Meneladani Rasulullah ﷺ dan para pejuang Islam yang menyeimbangkan usaha dengan doa.

Dengan demikian, kita akan selalu mendapat bimbingan dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Monday, September 29, 2025

Ilmu Mantik: Sejarah, Perkembangan, dan Pandangan Ulama (part.2)

 Ilmu Mantik: Sejarah, Perkembangan, dan Pandangan Ulama


Ilmu mantik atau logika adalah salah satu cabang ilmu yang berfungsi sebagai alat untuk menata pola pikir agar lebih terarah dan terhindar dari kekeliruan. 

Perjalanan ilmu ini bermula dari tradisi filsafat Yunani, melalui tokoh-tokoh seperti Socrates, Plato (Aflatun), dan Aristoteles. 

Aristoteles dianggap sebagai peletak dasar ilmu logika yang kemudian dikenal dengan istilah 'madrasatul masya’iyah' 

(mazhab peripatetik), karena metode pengajarannya dilakukan sambil berjalan.


Dalam dunia Islam, ilmu mantik masuk melalui proses penerjemahan besar-besaran pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Khalifah al-Ma’mun. 

Beliau mendirikan Baitul Hikmah sebagai pusat ilmu pengetahuan dan penerjemahan. Kitab-kitab filsafat dan logika karya Aristoteles dan pemikir Yunani lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh ulama seperti Abdullah ibn al-Muqaffa‘ dan Hunain ibn Ishaq.


Namun, ilmu mantik sempat menuai perdebatan di kalangan ulama. Sebagian menganggapnya berbahaya karena erat dengan filsafat Yunani yang bertentangan dengan aqidah Islam, 

sementara sebagian lain justru melihatnya sebagai alat penting untuk memperkuat argumentasi dan membantah pemikiran yang menyimpang.


Imam al-Ghazali adalah salah satu tokoh besar yang berusaha menyesuaikan istilah-istilah mantik dengan nuansa Islam. 

Beliau mengganti beberapa istilah asing dengan istilah Qur’ani, seperti menyebut ilmu mantik dengan sebutan 'mizan' (timbangan) atau 'al-qisthash al-mustaqim'. 

Upaya ini membuat ilmu mantik lebih bisa diterima di kalangan ulama dan santri.


Di sisi lain, ada juga perdebatan mengenai hukum mempelajari ilmu mantik. Sebagian ulama, seperti Imam Nawawi dan Ibnu Shalah, 

mengharamkan karena khawatir membawa kepada pemikiran filsafat yang batil. Namun ulama lain, termasuk Imam al-Ghazali, menilai bahwa 

ilmu mantik hukumnya fardhu kifayah, bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi fardhu ‘ain bagi yang menekuni ilmu kalam dan fikih. 

Hal ini karena ilmu mantik membantu menata cara berpikir sehingga lebih sistematis dan terhindar dari kesalahan penalaran.


Kesimpulannya, ilmu mantik dalam tradisi Islam memiliki kedudukan penting sebagai alat bantu untuk memahami, mengkritisi, dan memperkuat argumen keilmuan. 

Walaupun awalnya berasal dari filsafat Yunani, melalui proses Islamisasi ilmu pengetahuan, mantik kemudian beradaptasi dengan kerangka Islam dan menjadi bagian integral dari khazanah keilmuan Islam.

Peran Ilmu Mantiq dalam Ilmu Kalam (part. 1)

 Peran Ilmu Mantiq dalam Ilmu Kalam

Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, wasshalatu wassalamu ‘ala sayyidil mursalin wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du.


Tulisan ini berangkat dari pengalaman pribadi penulis ketika berada di Banjar. Meskipun awalnya bersifat catatan sederhana, saya merasa penting untuk membahas hubungan erat antara ilmu mantiq (logika) dengan ilmu kalam. Judul yang saya pilih adalah:


“Daurul Mantiq fi Bina’il Barahin al-Kalamiyah”

(Peran Ilmu Mantiq dalam Pembangunan Dalil-dalil Kalamiyah).

1. Pengantar: Pentingnya Mantiq

Dalam tradisi keilmuan Islam, barahin (dalil) terbagi dua: ada yang menghasilkan yaqin (kepastian), dan ada yang hanya menghasilkan dzann (dugaan). Ilmu mantiq hanya menerima dalil yang sampai pada tingkat yakin. Sebaliknya, dalil yang bersifat dzanni memang diajarkan, namun tidak dijadikan pegangan dalam mantiq.


Berbeda dengan fikih yang menerima dalil dzanni, ilmu kalam menuntut keyakinan penuh. Karena itu, barahin kalamiyah selalu bersifat yakiniah, sejalan dengan prinsip mantiq.

2. Ilmu Alat dan Ilmu Maksud

Ilmu mantiq termasuk ‘ulum al-alah (ilmu alat), yakni ilmu yang dipelajari bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk membantu memahami ilmu lain. Ilmu nahwu, misalnya, dipelajari agar seseorang mampu memahami Al-Qur’an, hadis, atau kitab-kitab syarah.


Sebaliknya, ada ‘ulum al-maqshud, yaitu ilmu yang dipelajari demi dirinya sendiri, seperti fikih, tafsir, dan hadis. Ketiga ilmu inilah yang menjadi dasar keilmuan Islam.


Mantiq berfungsi sebagai penguat nalar agar pemahaman kita dalam ilmu-ilmu tersebut lebih mendalam dan terhindar dari kesalahan berpikir.

3. Pandangan Ulama dan Habaib tentang Mantiq

Sebagian orang beranggapan bahwa para habaib menolak ilmu mantiq. Padahal, sebenarnya mereka tidak menolaknya, hanya saja fokus mereka lebih kepada fikih, tasawuf, dan tarbiyah amal (seperti salat, zikir, dan puasa).


Namun, tercatat pula beberapa habaib yang mendalami mantiq, bahkan menulis syarah dalam disiplin ini. Artinya, sikap mereka bukanlah penolakan, melainkan perbedaan kecenderungan.

4. Definisi Ilmu Mantiq

Secara bahasa, mantiq berasal dari kata nuthq (ucapan atau berpikir). Secara istilah, mantiq adalah:


“Alat dan kaidah universal yang menjaga akal dari kesalahan dalam berpikir.”


Dengan mantiq, cara berpikir menjadi lebih tertata, perkataan lebih terukur, dan seseorang terhindar dari kekeliruan dalam memahami maupun menyimpulkan suatu perkara.

5. Fungsi dan Keistimewaan Mantiq

Imam al-Ghazali menegaskan:

“Barangsiapa tidak menguasai mantiq, maka ilmunya tidak dapat dipercaya.”


Hal ini karena mantiq adalah miizan (timbangan) bagi seluruh ilmu. Ia berfungsi menjaga pikiran agar tidak terombang-ambing, sekaligus membuka wawasan terhadap hal-hal yang lebih halus dan mendalam.


Bahkan sebagian ulama menyebut mantiq sebagai sayyidul ‘ulum (pemimpin ilmu), sebab setiap disiplin ilmu harus diuji dengan kaidah logika agar validitasnya terjamin.

6. Mantiq dan Sejarahnya

Peletak dasar ilmu mantiq adalah Aristoteles (Aristo). Ia menulis sistem logika untuk membantah aliran sofistik yang mengingkari adanya hakikat kebenaran. Menurut kelompok sofis, semua pendapat bisa dianggap benar, tergantung siapa yang mengatakannya.


Aristoteles bersama gurunya, Socrates dan Plato, menolak pandangan ini. Mereka menegaskan bahwa kebenaran harus dapat dicapai melalui berpikir rasional yang teratur. Dari sinilah lahir ilmu mantiq yang kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh para ulama Islam.

7. Hubungan Mantiq dan Kalam

Mantiq dan kalam memiliki hubungan yang sangat erat. Keduanya sama-sama berangkat dari logika yakiniah. Dalam kalam, mantiq menjadi alat penting untuk menyusun argumentasi dalam masalah akidah, membantah aliran-aliran sesat, serta menjaga keyakinan dari keraguan.


Dengan mantiq, seorang pelajar akan memiliki kerangka berpikir yang lebih kuat, sehingga tidak mudah terjebak pada pemikiran batil yang seringkali memanipulasi logika.

8. Penutup

Ilmu mantiq bukanlah ilmu yang berdiri sendiri, melainkan khadim (pelayan) bagi seluruh ilmu. Tanpa mantiq, pemahaman terhadap fikih, tafsir, hadis, maupun kalam akan rapuh. Sebaliknya, dengan mantiq, setiap ilmu akan lebih kokoh, jelas, dan mendalam.


Sebagaimana ditegaskan para ulama:

“Al-mantiq sayyidul ‘ulum” – mantiq adalah pemimpin seluruh ilmu.


Semoga kajian ringkas ini menambah kesadaran kita akan pentingnya mempelajari mantiq, khususnya dalam membangun keyakinan melalui ilmu kalam.


Wallahu a’lam bish-shawab.

Thursday, September 25, 2025

Ngaji al Hikam 24 : Cara menghadapi Ujian

 Hikmah Dunia: Menyikapi Ujian dan Nikmat dalam Kehidupan

Bismillahirrahmanirrahim.

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, sahabat, dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.

Di pagi yang penuh berkah ini, kita bersyukur karena masih diberi nikmat oleh Allah untuk melaksanakan shalat Subuh berjamaah. Lebih dari itu, Allah memilih kita untuk duduk di majelis ilmu. Semoga langkah kecil ini menjadi pemberat amal kebaikan kita di akhirat kelak.

## Dunia: Tempat Ujian, Bukan Tempat Tujuan

Kita akan membahas hikmah ke-24 dari kitab Al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari. Beliau menulis:


"Janganlah engkau merasa heran dengan adanya ujian (al-qadar), karena dunia tidaklah menampakkan sesuatu kecuali sesuai dengan sifat aslinya."

Makna dari hikmah ini sangat dalam: selama kita masih hidup di dunia, pasti kita akan menghadapi ujian. Dunia ibarat ruang ujian bagi manusia. Ada kesulitan, ada penderitaan, ada cobaan. Tetapi jangan lupa, nikmat juga termasuk ujian.

Seorang mukmin yang baik akan bersabar saat ditimpa musibah, dan bersyukur saat mendapat nikmat. Kedua sikap ini sama-sama mendatangkan pahala. Inilah yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:


“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Semua urusannya baik baginya. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, dan itu pun baik baginya.”

## Perbedaan Mukmin dan Orang yang Tak Beriman

Bagi orang beriman, setiap kejadian di dunia — suka maupun duka — memiliki nilai di sisi Allah. Namun bagi orang yang tidak beriman, dunia dipandang sebagai akhir dari segalanya. Akibatnya, ketika musibah menimpa, mereka kehilangan pegangan dan putus asa.

Tak heran jika di negara-negara sekuler tingkat bunuh diri tinggi. Mereka tidak memiliki harapan akan adanya kehidupan setelah mati. Kehidupan dianggap berhenti sampai di liang lahat. Padahal, seorang mukmin yakin bahwa di balik setiap ujian ada balasan, dan setelah kematian ada kehidupan yang lebih abadi.

## Hidup dengan Harapan

Ada sebuah eksperimen menarik tentang tikus. Seekor tikus dimasukkan ke dalam air. Ia hanya mampu bertahan berenang sekitar 15 menit sebelum tenggelam. Namun ketika percobaan diulang, tikus tersebut ditolong sebelum tenggelam, diberi makan, lalu dimasukkan kembali ke air. Kali ini, ia bisa berenang lebih lama — bahkan berhari-hari. Apa sebabnya? Karena ia memiliki harapan untuk diselamatkan.

Demikian pula hidup manusia. Orang beriman tidak pernah kehilangan harapan. Ia yakin bahwa setelah terowongan gelap kehidupan dunia, ada cahaya dan taman-taman surga menanti. Inilah yang membuat seorang mukmin mampu menjalani hidup dengan tenang.

## Dunia: Persinggahan Sementara

Kita tidak bisa berharap dunia selalu memberi kebahagiaan. Kalau semua keinginan terpenuhi tanpa pernah sakit atau susah, di mana letak rasa butuh kita kepada Allah? Justru dengan adanya sakit, gagal, dan musibah, manusia belajar untuk kembali kepada-Nya.

Hidup manusia pun bergerak dalam fase: muda penuh semangat, paruh baya mulai tenang, dan tua semakin dekat dengan akhir perjalanan. Maka, dunia ibarat kain sutra yang tersangkut di duri-duri tajam: jika terlalu melekat, akan mudah robek dan menyisakan luka. Karena itu, seorang mukmin harus sadar bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara, bukan tujuan akhir.

## Dunia sebagai Dar Taklif (Tempat Beban dan Ujian)

Syekh Ramadan al-Buthi menegaskan bahwa dunia adalah dar at-taklif, tempat Allah memberikan beban berupa syariat. Shalat, puasa, zakat, semuanya adalah bentuk taklif. Maka, setiap mukmin yang baligh dan berakal otomatis menjadi mukallaf—orang yang wajib menjalankan syariat.

Kita tidak pernah meminta untuk lahir ke dunia. Tetapi begitu dilahirkan, kita diberi kebebasan untuk memilih: beriman atau kufur. Namun tentu saja, setiap pilihan memiliki konsekuensi.

## Refleksi untuk Kehidupan Sosial

Masalah bangsa kita sebenarnya berawal dari hal kecil: lupa kepada Allah. Banyak orang shalat di masjid, tapi begitu keluar, lupa akan Allah. Akibatnya, lahirlah korupsi, kerusakan moral, dan perilaku tidak disiplin.

Padahal, Islam telah mengajarkan kebersihan (an-nazhafatu minal iman). Namun kenyataannya, sampah berserakan di jalan. Mengapa? Karena pendidikan dalam keluarga lemah. Keluarga adalah madrasah pertama, terutama peran ibu. Anak-anak belajar disiplin, kebersihan, dan akhlak pertama kali dari rumah.

Jika setiap keluarga berkomitmen menerapkan nilai Islam sejak dini, insyaAllah bangsa ini bisa lebih baik. Perubahan tidak harus menunggu pemerintah; bisa dimulai dari rumah masing-masing.

## Penutup: Semua Urusan Mukmin Itu Baik

Sebagai penutup, mari kita ingat kembali sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:


“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Semua urusannya baik baginya, dan itu hanya berlaku bagi orang mukmin. Apabila ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Apabila ia tertimpa musibah, ia bersabar, dan itu pun baik baginya.”

Apapun yang menimpa kita—suka atau duka—semua adalah ujian. Yang penting adalah bagaimana cara kita merespons: sabar ketika diuji, syukur ketika diberi nikmat.

Semoga kita semua dimudahkan untuk menjadi hamba-hamba Allah yang sabar, syukur, dan senantiasa istiqamah dalam ibadah.


Wallahu a’lam bish-shawab.


Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

3 syarat menjadi pakar hadis

 Tiga Syarat untuk Menjadi Ahli Naqd al-Hadits

Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Ilmu hadits adalah salah satu cabang ilmu paling mulia dalam Islam. Di antara bidang penting dalam ilmu hadits adalah naqd al-hadits, yaitu ilmu kritik hadits—menilai apakah suatu hadits dapat diterima atau ditolak berdasarkan sanad dan matan. Namun, menjadi seorang ahli naqd al-hadits (kritikus hadits) bukanlah perkara yang sederhana. Ada syarat-syarat penting yang harus dipenuhi, baik dari sisi keilmuan maupun pembentukan diri.

Dalam penjelasan seorang ustadz, disebutkan bahwa ada tiga wasilah (perantara/alat) utama yang harus dipersiapkan bagi siapa saja yang ingin menekuni bidang ini hingga mencapai derajat ahli.


1. Penguasaan Mendalam terhadap Sunnah Nabi ﷺ

Syarat pertama adalah memiliki wawasan yang luas dan mendalam mengenai sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Pengetahuan ini bukan sekadar hafalan, tetapi benar-benar menyatu dalam jiwa.

Para ulama menggambarkan, seorang ahli hadits seakan-akan hidup bersama Rasulullah ﷺ. Sunnah Nabi bukan hanya diketahui secara tekstual, tetapi dipahami secara kontekstual dan aplikatif. Sampai-sampai dikatakan bahwa pengetahuan mereka tentang sunnah sudah “mendarah daging”—menyatu dengan darah, daging, dan tulang mereka.

Dengan kedalaman seperti ini, seorang ahli hadits bisa memahami ucapan, tindakan, dan ketetapan Nabi ﷺ seolah-olah beliau hadir di hadapannya. Maka, penguasaan sunnah menjadi syarat mutlak bagi siapa saja yang ingin menjadi ahli kritik hadits.


2. Berguru Langsung kepada Ahli Hadits

Syarat kedua adalah mujalasah (duduk bersama/berguru) kepada para ulama ahli hadits. Ilmu ini tidak bisa diperoleh hanya dengan membaca buku atau belajar secara otodidak. Diperlukan proses panjang berguru langsung, mendengar, berdiskusi, dan berlatih di bawah bimbingan guru yang ahli.

Bahkan, dalam catatan sejarah, ada yang sampai duduk bersama ahli hadits selama 20 tahun. Dari interaksi panjang ini, terbentuklah malakah ilmiyyah—bakat atau keahlian ilmiah—yang memungkinkan seseorang menilai hadits dengan presisi.

Proses ini juga melatih kesabaran, ketekunan, serta ketahanan menghadapi kesulitan belajar. Karena itulah, hanya orang-orang yang benar-benar sabar dan istiqamah yang bisa mencapai derajat sebagai ahli naqd al-hadits.


3. Membaca dan Mengkaji Karya Ulama Hadits

Syarat ketiga adalah banyak membaca karya-karya ulama hadits terdahulu. Dengan membaca, seseorang akan mengetahui manhaj (metodologi) mereka dalam melakukan kritik hadits. Dari situ, ia bisa memahami batasan, kaidah, serta metode yang digunakan para ulama klasik ketika menilai validitas sebuah riwayat.

Mempelajari karya-karya ini ibarat menimba pengalaman langsung dari generasi terdahulu. Dengan bekal itu, seorang penuntut ilmu bisa menerapkan metode yang sama dalam praktik kritik hadits di masa sekarang.


Ulama Hadits di Era Kontemporer

Mungkin muncul pertanyaan: Apakah di zaman sekarang masih ada yang bisa disebut ahli naqd al-hadits?

Alhamdulillah, jawabannya adalah ya. Hingga hari ini masih ada ulama yang konsisten mendalami bidang ini. Sebagai contoh:

- Prof. Dr. Umar Hasyim, guru besar Universitas al-Azhar, Kairo.

- Sayyid Azhari, seorang ulama muda dengan kepakaran dalam ilmu hadits.

- Di Indonesia, ada Dr. Lukman Hakim, lulusan S3 Ilmu Hadits Universitas al-Azhar.

Mereka adalah contoh nyata bahwa tradisi keilmuan hadits tetap terjaga hingga sekarang.


Penutup

Menjadi ahli naqd al-hadits bukanlah jalan mudah. Ia menuntut penguasaan mendalam terhadap sunnah, kesabaran panjang berguru kepada para ulama, serta kesungguhan membaca karya-karya klasik. Hanya dengan ketiga syarat ini, seseorang bisa mencapai derajat kritikus hadits yang sebenarnya.

Semoga Allah memberi kita taufik untuk menekuni ilmu-ilmu agama dengan kesungguhan, serta meneladani kesabaran para ulama terdahulu.

Wallahu a’lam.