Saturday, August 30, 2025

Ushul fiqh (pengantar)

 Ringkasan Jurnal Ushul Fiqh


1. Pendahuluan

- Penulis membuka dengan pujian kepada Allah, shalawat kepada Nabi, serta ayat-ayat Al-Qur’an tentang pentingnya takwa.  

- Tujuan penulisan: membuat kajian ringkas tentang Ilmu Ushul Fiqh, khususnya 10 prinsip dasar ilmu ini.  

- Penulis mengikuti metode ilmiah: sistematis, memakai sumber terpercaya, dan menyusun dalam bab-bab.  


2. Pengantar – Prinsip Dasar Ilmu

- Apa itu “prinsip” (mabda’)? → Dalam bahasa Arab berarti “permulaan” atau “dasar sesuatu”.  

- Dalam istilah ilmu, ia adalah hal-hal pokok yang harus diketahui sebelum masuk ke detail ilmu.  

- Mengapa prinsip penting? Karena mustahil seseorang mencari sesuatu yang sama sekali tidak ia ketahui.  

- Dengan prinsip, seorang pelajar bisa paham garis besar: definisi, tujuan, manfaat, objek, sumber, dan penyusunnya.  


3. Sepuluh Prinsip Dasar Ilmu Ushul Fiqh

1. Definisi ilmu itu.  

2. Objek kajiannya.  

3. Manfaatnya.  

4. Hubungan dengan ilmu lain.  

5. Keutamaan dan keistimewaannya.  

6. Siapa penyusunnya pertama kali.  

7. Sumber pengambilannya.  

8. Nama atau istilahnya.  

9. Hukum mempelajarinya.  

10. Masalah-masalah pokok yang dibahas.  


4. Definisi Ushul Fiqh

- Secara bahasa: “Ushul” = dasar, pokok, fondasi. “Fiqh” = pemahaman mendalam tentang hukum syariat.  

- Secara istilah: ilmu tentang kaidah-kaidah yang digunakan untuk menggali hukum-hukum syariat dari sumber-sumbernya (Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Qiyas, dll.).  

- Perbedaan dengan fiqh: Fiqh adalah hasil hukum, sedangkan Ushul Fiqh adalah cara menggali hukum.  


5. Objek, Manfaat, dan Hubungan

- Objek Ushul Fiqh: dalil-dalil syariat (Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas) dan cara memahaminya.  

- Manfaat: memahami hukum Allah dengan benar, menyaring dalil, membantu ijtihad, membimbing fatwa, mengetahui sebab perbedaan ulama, menjaga syariat.  

- Hubungan: Ushul Fiqh adalah sarana menuju tujuan, yaitu istinbat hukum syariat.  


6. Keutamaan dan Pentingnya Ushul Fiqh

- Ilmu paling mulia karena membahas cara memahami firman Allah dan sabda Nabi.  

- Dalil-dalil Qur’an dan Hadis menunjukkan keutamaan ilmu syar‘i, termasuk Ushul Fiqh.  

- Imam al-Ghazali: Ushul Fiqh menggabungkan akal dan wahyu.  

- Imam al-Qarafi: tanpa Ushul Fiqh, hukum syariat tidak bisa dibuktikan.  


7. Sejarah Ushul Fiqh

- Sebelum dibukukan: sudah dipraktikkan sejak sahabat.  

- Setelah dibukukan: Imam Syafi’i menulis Ar-Risalah, kitab pertama Ushul Fiqh.  


8. Sumber Ushul Fiqh dan Hukumnya

- Sumber: Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas, kaidah ulama. Akal hanya sebagai alat bantu.  

- Hukum mempelajarinya: fardhu kifayah (cukup sebagian orang). Untuk mujtahid, wajib.  


9. Penutup

- Ushul Fiqh adalah fondasi fiqh. Tanpa itu, hukum Islam tidak bisa dipahami dengan benar.  

- Ia memberi pedoman, melatih logika, menjaga syariat tetap hidup.  

- Kunci agar umat Islam menjalankan agama dengan dalil, bukan sekadar ikut-ikutan.  


🔑 Inti:

- Fiqh = hasil hukum.  

- Ushul Fiqh = cara menggali hukum.  

- 10 prinsip dasar membuat Ushul Fiqh kokoh.  

- Wajib dikuasai ulama agar syariat tetap terjaga.

hadis hasan dan dhaif (7)

 Bismillāhirrahmānirrahīm

Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
Ahlan wa sahlan, selamat datang kembali di channel saya. Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan pembacaan Kitab Nawawiyah karya Dr. … (penyebutan penulis). Pembahasan kita sekarang masuk pada tema Hadis Āhād dan Hadis Mutawātir.


1. Hadis Sahih dan Syarat-Syaratnya

Sebelumnya sudah kita bahas bahwa sebuah hadis dapat disebut sahih apabila memenuhi lima syarat, yaitu:

  1. Ittishāl as-sanad – sanadnya bersambung.

  2. Rāwinya ‘adl – perawinya orang yang adil.

  3. Rāwinya ḍābiṭ – perawinya memiliki ketelitian.

  4. Tidak ada syādz – tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.

  5. Tidak ada ‘illat – tidak terdapat cacat tersembunyi.

Hadis yang memenuhi lima kriteria ini disebut hadis sahih.


2. Pembagian Hadis Sahih

Hadis sahih terbagi menjadi dua macam:

  1. Hadis Āhād

  2. Hadis Mutawātir


3. Hadis Āhād

Hadis Āhād adalah hadis yang diriwayatkan oleh:

  • satu orang pada setiap tingkatan sanad, atau

  • dua orang, atau

  • tiga orang, atau bahkan empat orang.

Intinya, jumlah perawi pada setiap tingkatan sanad tidak sampai banyak sekali, melainkan terbatas.

Hukum Hadis Āhād:

  • Orang yang mengingkari hadis Āhād tidak sampai dihukumi kafir, tetapi bisa dihukumi fāsiq apabila yang diingkari adalah hadis sahih.

  • Hadis Āhād wajib diamalkan dalam masalah hukum syar‘i (al-ahkām asy-syar‘iyyah), meskipun tidak memberikan keyakinan mutlak (qat‘ī), melainkan hanya memberikan dugaan kuat (ẓann ghalib).

Dengan kata lain, hadis Āhād sah digunakan sebagai dalil hukum, walaupun tidak mencapai derajat mutawātir.


4. Hadis Mutawātir

Adapun hadis Mutawātir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang sangat banyak pada setiap tingkatan sanad, mulai dari sahabat, tābi‘īn, hingga tābi‘ut-tābi‘īn, dengan jumlah yang mustahil secara akal mereka sepakat untuk berdusta.

Contohnya:

  • Pada tingkatan sahabat, hadis didengar oleh 70 orang.

  • Pada tingkatan tābi‘īn, diriwayatkan lagi oleh 80 orang.

  • Pada tingkatan tābi‘ut-tābi‘īn, diriwayatkan lagi oleh 90 orang.

Dengan jumlah sebesar itu, hadis tersebut sampai pada derajat Mutawātir.

Ciri Hadis Mutawātir:

  • Diriwayatkan oleh banyak orang pada tiap tingkatan.

  • Tidak ada kemungkinan mereka bersepakat untuk berdusta.

  • Sanadnya bersambung hingga kepada Rasulullah ﷺ.

Para ulama tidak menentukan angka pasti untuk “jumlah banyak” ini. Yang menjadi ukuran adalah: jumlah yang mustahil secara akal untuk sepakat berbohong.


5. Hukum Hadis Mutawātir

Hadis Mutawātir menghasilkan ilmu yaqīn (keyakinan pasti). Oleh karena itu, wajib diamalkan dan diyakini kandungannya.


6. Contoh Hadis Mutawātir

Salah satu contoh hadis Mutawātir adalah hadis tentang mukjizat Nabi Muhammad ﷺ ketika bulan terbelah menjadi dua (inshiqāqul-qamar).

Peristiwa ini disaksikan oleh banyak sahabat, kemudian mereka meriwayatkannya kepada tābi‘īn dalam jumlah yang juga banyak, dan seterusnya sampai ke generasi berikutnya. Karena jalurnya sangat banyak, hadis ini mencapai derajat Mutawātir.

Imam Ibn Kathīr dalam tafsirnya ketika menafsirkan surat Al-Qamar menyebutkan banyak riwayat tentang peristiwa ini. Dengan demikian, hadis terbelahnya bulan termasuk hadis Mutawātir.


Penutup

Demikian pembahasan tentang Hadis Āhād dan Hadis Mutawātir. Mudah-mudahan Allah ﷻ memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan penuh berkah.

Āmīn, Allāhumma Āmīn.
Semoga kita semua diberi kesehatan dan semangat dalam menuntut ilmu.

Wassalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.

hadis mutawatir dan ahad (6)

 Bismillāhirrahmānirrahīm

Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
Ahlan wa sahlan, selamat datang kembali di channel saya. Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan pembacaan Kitab Nawawiyah karya Dr. … (penyebutan penulis). Pembahasan kita sekarang masuk pada tema Hadis Āhād dan Hadis Mutawātir.


1. Hadis Sahih dan Syarat-Syaratnya

Sebelumnya sudah kita bahas bahwa sebuah hadis dapat disebut sahih apabila memenuhi lima syarat, yaitu:

  1. Ittishāl as-sanad – sanadnya bersambung.

  2. Rāwinya ‘adl – perawinya orang yang adil.

  3. Rāwinya ḍābiṭ – perawinya memiliki ketelitian.

  4. Tidak ada syādz – tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.

  5. Tidak ada ‘illat – tidak terdapat cacat tersembunyi.

Hadis yang memenuhi lima kriteria ini disebut hadis sahih.


2. Pembagian Hadis Sahih

Hadis sahih terbagi menjadi dua macam:

  1. Hadis Āhād

  2. Hadis Mutawātir


3. Hadis Āhād

Hadis Āhād adalah hadis yang diriwayatkan oleh:

  • satu orang pada setiap tingkatan sanad, atau

  • dua orang, atau

  • tiga orang, atau bahkan empat orang.

Intinya, jumlah perawi pada setiap tingkatan sanad tidak sampai banyak sekali, melainkan terbatas.

Hukum Hadis Āhād:

  • Orang yang mengingkari hadis Āhād tidak sampai dihukumi kafir, tetapi bisa dihukumi fāsiq apabila yang diingkari adalah hadis sahih.

  • Hadis Āhād wajib diamalkan dalam masalah hukum syar‘i (al-ahkām asy-syar‘iyyah), meskipun tidak memberikan keyakinan mutlak (qat‘ī), melainkan hanya memberikan dugaan kuat (ẓann ghalib).

Dengan kata lain, hadis Āhād sah digunakan sebagai dalil hukum, walaupun tidak mencapai derajat mutawātir.


4. Hadis Mutawātir

Adapun hadis Mutawātir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang sangat banyak pada setiap tingkatan sanad, mulai dari sahabat, tābi‘īn, hingga tābi‘ut-tābi‘īn, dengan jumlah yang mustahil secara akal mereka sepakat untuk berdusta.

Contohnya:

  • Pada tingkatan sahabat, hadis didengar oleh 70 orang.

  • Pada tingkatan tābi‘īn, diriwayatkan lagi oleh 80 orang.

  • Pada tingkatan tābi‘ut-tābi‘īn, diriwayatkan lagi oleh 90 orang.

Dengan jumlah sebesar itu, hadis tersebut sampai pada derajat Mutawātir.

Ciri Hadis Mutawātir:

  • Diriwayatkan oleh banyak orang pada tiap tingkatan.

  • Tidak ada kemungkinan mereka bersepakat untuk berdusta.

  • Sanadnya bersambung hingga kepada Rasulullah ﷺ.

Para ulama tidak menentukan angka pasti untuk “jumlah banyak” ini. Yang menjadi ukuran adalah: jumlah yang mustahil secara akal untuk sepakat berbohong.


5. Hukum Hadis Mutawātir

Hadis Mutawātir menghasilkan ilmu yaqīn (keyakinan pasti). Oleh karena itu, wajib diamalkan dan diyakini kandungannya.


6. Contoh Hadis Mutawātir

Salah satu contoh hadis Mutawātir adalah hadis tentang mukjizat Nabi Muhammad ﷺ ketika bulan terbelah menjadi dua (inshiqāqul-qamar).

Peristiwa ini disaksikan oleh banyak sahabat, kemudian mereka meriwayatkannya kepada tābi‘īn dalam jumlah yang juga banyak, dan seterusnya sampai ke generasi berikutnya. Karena jalurnya sangat banyak, hadis ini mencapai derajat Mutawātir.

Imam Ibn Kathīr dalam tafsirnya ketika menafsirkan surat Al-Qamar menyebutkan banyak riwayat tentang peristiwa ini. Dengan demikian, hadis terbelahnya bulan termasuk hadis Mutawātir.


Penutup

Demikian pembahasan tentang Hadis Āhād dan Hadis Mutawātir. Mudah-mudahan Allah ﷻ memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan penuh berkah.

Āmīn, Allāhumma Āmīn.
Semoga kita semua diberi kesehatan dan semangat dalam menuntut ilmu.

Wassalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.

hadis shahih (5)

 Bismillāhirrahmānirrahīm

Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.

Bismillāh, walhamdulillāh, wassalātu wassalāmu ‘alā Rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa asḥābihi ajma‘īn.

Alhamdulillāh, ahlan wa sahlan, selamat datang kembali di channel ini. Kita akan melanjutkan pembacaan kitab al-Ḥadīts asy-Syarīf wal-Balāghah an-Nabawiyyah karya Dr. Sa‘īd Ramaḍān al-Būṭī. Pada kesempatan kali ini, insyaAllah kita akan membahas mengenai ḥadīts ṣaḥīḥ: apa yang dimaksud dengan hadis ṣaḥīḥ serta kriteria-kriteria yang menjadikannya ṣaḥīḥ.

Kenapa penting? Karena pembagian hadis ke dalam kategori ṣaḥīḥ, ḥasan, dan ḍa‘īf adalah pembagian dari sisi kualitas hadis. Ini menjadi pondasi penting dalam memahami sunnah Nabi ﷺ.


Latar Belakang Munculnya Ilmu Hadis

Pada masa awal Islam, para sahabat memiliki bahasa yang fasih, hafalan yang kuat, serta niat yang lurus. Namun, pada masa berikutnya, mulai muncul orang-orang yang hafalannya lemah, atau bahkan yang memiliki niat buruk ketika meriwayatkan hadis. Akibatnya, lahirlah hadis-hadis yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ padahal kualitasnya tidak jelas.

Karena kondisi ini, para ulama merasa perlu menyusun kaidah-kaidah dalam periwayatan hadis. Tujuannya agar bisa dibedakan mana hadis yang benar-benar berasal dari Rasulullah ﷺ dan mana yang tidak. Dari sinilah muncul cabang ilmu yang kita kenal sebagai ‘Ilmu Muṣṭalaḥ al-Ḥadīts.

Ilmu ini memiliki urgensi yang sangat besar, yaitu untuk:

  1. Menyaring hadis-hadis palsu atau lemah agar tidak bercampur dengan hadis yang sahih.

  2. Menjadi pedoman para ulama—bukan hanya ulama hadis, tetapi juga sejarawan, ahli adab, dan lainnya—agar dalam meriwayatkan berita atau peristiwa selalu disertai dengan sanad.

Ada ungkapan terkenal dari para ulama: “Man asnada faqad aslama”Barangsiapa yang menyertakan sanad, maka ia telah selamat.


Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas

Secara umum, hadis dapat dibagi menjadi beberapa kategori utama:

  1. Ḥadīts Ṣaḥīḥ – hadis yang sahih.

  2. Ḥadīts Ḥasan – hadis yang baik, tapi tingkatannya di bawah sahih.

  3. Ḥadīts Ḍa‘īf – hadis yang lemah.

  4. Ḥadīts Mawḍū‘ – hadis palsu.


Definisi Hadis Ṣaḥīḥ

Hadis ṣaḥīḥ adalah hadis yang memenuhi lima syarat berikut:

  1. Ittiṣāl as-Sanad – sanadnya bersambung, tidak ada rawi yang terputus.

  2. ‘Adālah ar-Rāwī – para perawinya memiliki sifat adil, yaitu tidak melakukan dosa besar, tidak terbiasa melakukan dosa kecil, serta memiliki akhlak yang baik.

  3. Ḍabṭ ar-Rāwī – perawi memiliki hafalan yang kuat atau catatan yang akurat.

    • Ada dua bentuk: hafalan dalam dada (ḍabṭ ṣadr) dan hafalan melalui tulisan (ḍabṭ kitābah).

  4. Tidak terdapat syādzdz – yakni hadis tersebut tidak bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih kuat dalam hafalan maupun keadilan.

  5. Tidak terdapat ‘illah – tidak ada cacat tersembunyi dalam sanad maupun matannya.

Jika kelima syarat ini terpenuhi, maka hadis tersebut digolongkan sebagai ḥadīts ṣaḥīḥ.


Contoh Penjelasan

Misalnya, terdapat sebuah hadis tentang Nabi ﷺ yang setelah shalat sunnah Fajar berbaring di sisi kanannya. Riwayat mayoritas ulama menyebutkan bahwa itu adalah perbuatan Nabi (fi‘liyyah). Namun, seorang perawi bernama ‘Abdul Wāḥid meriwayatkannya sebagai ucapan Nabi (qawliyyah). Karena periwayatan ini menyelisihi mayoritas perawi yang lebih kuat, maka riwayat ‘Abdul Wāḥid dianggap syādzdz.


Kesimpulan Awal

Dengan demikian, syarat hadis ṣaḥīḥ dapat diringkas menjadi:

  1. Sanad bersambung.

  2. Perawi adil.

  3. Perawi kuat hafalannya (ḍābiṭ).

  4. Tidak ada kejanggalan (syādzdz).

  5. Tidak ada cacat (‘illah).

Hadis ṣaḥīḥ ini nantinya juga terbagi lagi berdasarkan jumlah perawi: ḥadīts mutawātir dan ḥadīts āḥād. InsyaAllah pembahasan ini akan kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya.


Semoga yang kita pelajari bermanfaat.
Wassalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.

Jenis jenis kitab hadis ( 4)

 Kajian Kitab Hadis: Jenis-jenis Kitab Hadis

Bismillāhirraḥmānirraḥīm.

Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.


Alḥamdulillāh, washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh. Selamat datang kembali di kajian kita. Pada pertemuan kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan mengenai kitab-kitab hadis berdasarkan penjelasan para ulama, khususnya dari karya Dr. … yang sedang kita kaji.

Sebelumnya telah disinggung bahwa pada masa awal pengumpulan hadis, riwayat Nabi Muhammad ﷺ masih bercampur dengan perkataan sahabat dan fatwa mereka. Contohnya dapat dilihat dalam kitab al-Muwaṭṭa’ karya Imam Mālik, yang di dalamnya tidak hanya terdapat hadis Nabi ﷺ, tetapi juga perkataan sahabat.

Namun, memasuki abad ke-2 dan ke-3 Hijriah, para ulama mulai menyusun kitab-kitab hadis dengan metode yang lebih teratur. Dari sini lahirlah berbagai jenis kitab hadis dengan manhaj (metode) yang berbeda. Secara umum, kitab-kitab hadis terbagi menjadi empat jenis utama:

1. Musnad (jamaknya Masanid)

2. Ṣaḥīḥ (jamaknya Ṣiḥāḥ)

3. Sunan

4. Mu‘jam (jamaknya Ma‘ājim)

1. Kitab Musnad

Kitab Musnad adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan nama sahabat perawi, bukan berdasarkan bab tematik. Misalnya, semua hadis riwayat Abu Hurairah diletakkan di bawah nama beliau, demikian juga hadis Anas bin Malik, Sayyidah ‘Āisyah, dan seterusnya.

• Penyusun pertama: Abū Dāwūd aṭ-Ṭayālisī (133–204 H).

• Yang paling terkenal: Musnad Imām Aḥmad bin Ḥanbal (164–241 H), yang hingga kini masih banyak dicetak dan dipelajari.


Ciri penting kitab musnad:

- Tidak terdapat hadis maudhu‘ (palsu).

- Namun masih memuat hadis dha‘īf, yang bisa dikenali melalui sanadnya.

2. Kitab Ṣaḥīḥ

Kitab Ṣaḥīḥ hanya berisi hadis-hadis yang sahih menurut penulisnya, disusun berdasarkan tema atau bab tertentu, bukan berdasarkan nama perawi.

• Penyusun pertama: Imām al-Bukhārī (194–256 H) dengan kitab al-Jāmi‘ aṣ-Ṣaḥīḥ.

• Kemudian: Imām Muslim (206–261 H) dengan kitab Ṣaḥīḥ Muslim.


Kedua kitab ini dikenal dengan sebutan aṣ-Ṣaḥīḥain (“dua kitab sahih”).


• Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding Ṣaḥīḥ Muslim, karena syarat yang dipakai Imam Bukhari lebih ketat: beliau mensyaratkan perawi bukan hanya hidup sezaman, tetapi juga benar-benar pernah bertemu.

3. Kitab Sunan

Kitab Sunan mirip dengan kitab Ṣaḥīḥ karena disusun berdasarkan bab-bab fikih, tetapi berbeda dalam hal kualitas hadis. Kitab Ṣaḥīḥ hanya memuat hadis sahih, sedangkan Sunan juga mencantumkan hadis hasan dan dha‘īf, meskipun biasanya penulisnya menjelaskan kelemahan hadis tersebut.

Empat kitab Sunan yang masyhur adalah:

1. Sunan Abī Dāwūd (202–275 H) – berisi sekitar 4.800 hadis yang dipilih dari 500 ribu hadis.

2. Sunan at-Tirmiżī (209–279 H) – penulisnya menamakan kitabnya al-Jāmi‘. Di dalamnya terdapat hadis sahih, hasan, dha‘īf, bahkan sebagian mungkar.

3. Sunan an-Nasā’ī (251–303 H) – awalnya bernama Sunan al-Kubrā, lalu diseleksi menjadi al-Mujtabā. Kitab ini dianggap paling sedikit memuat hadis dha‘īf.

4. Sunan Ibn Mājah (w. 273 H) – berisi sekitar 4.341 hadis. Namun, kitab ini memuat cukup banyak hadis dha‘īf dibanding kitab Sunan lainnya.

Jika digabung dengan Ṣaḥīḥ Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim, keempat kitab Sunan ini membentuk Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadis Utama).

4. Kitab Mu‘jam

Kitab Mu‘jam disusun berdasarkan nama sahabat atau guru perawi, tetapi diurutkan sesuai abjad (huruf mu‘jam: alif, ba’, ta’, dan seterusnya).

• Penyusun paling terkenal: Imām aṭ-Ṭabarānī (260–360 H) dengan tiga kitabnya:

  1. al-Mu‘jam al-Kabīr (berisi sekitar 52.000 hadis, berdasarkan nama sahabat).

  2. al-Mu‘jam al-Awsaṭ.

  3. al-Mu‘jam aṣ-Ṣaghīr (berdasarkan nama guru perawi, diurutkan menurut huruf).


Kitab mu‘jam ini, seperti musnad, berisi hadis dengan berbagai tingkatan: sahih, hasan, dan dha‘īf.

Kesimpulan

• Musnad: berdasarkan nama sahabat.

• Ṣaḥīḥ: hanya hadis sahih, disusun berdasarkan bab.

• Sunan: berdasarkan bab fikih, berisi hadis sahih, hasan, dan sebagian dha‘īf.

• Mu‘jam: berdasarkan nama sahabat atau guru, diurut sesuai abjad.


Dari sekian banyak kitab hadis, yang paling tinggi kedudukannya adalah Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim. Bersama dengan empat kitab Sunan, semuanya dikenal sebagai Kutubus Sittah, rujukan utama dalam ilmu hadis.


Wallāhu a‘lam.

Wassalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.

Penulisan hadis pada masa tabi'in

 Kuliah ulumul hadis ke-3

Sejarah Penulisan Hadis pada Masa Tabi'in

Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, washalatu wassalamu ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma‘in. Amma ba‘du.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat, khususnya nikmat kesehatan, sehingga kita bisa melanjutkan kajian terhadap Kitab Fil Hadits Asy-Syarif al-Balaghah an-Nabawiyyah karya Syekh Dr. Muhammad Sa‘id Ramadhan al-Buthi.

Pada kesempatan kali ini kita akan mempelajari sejarah penulisan hadis, khususnya pada masa tabi‘in.

---

Siapa Itu Tabi‘in?

Tabi‘in adalah generasi yang berjumpa dengan para sahabat Nabi ﷺ, namun tidak sempat berjumpa langsung dengan Rasulullah ﷺ. Jadi, mereka mengambil ilmu dari sahabat, bukan dari Nabi ﷺ secara langsung.

---

Penulisan Hadis pada Masa Tabi‘in

Pada masa tabi‘in, penulisan hadis semakin meluas. Banyak tabi‘in terkenal yang menulis hadis Nabi ﷺ, di antaranya:

1. Al-Hasan al-Bashri

2. Asy-Sya‘bi

3. Sa‘id bin Jubair

4. Abdurrahman bin Hurmuz

5. Hammam bin Munabbih

Mereka dan yang lainnya banyak mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah ﷺ. Namun, penulisan pada masa itu tidak hanya berisi hadis, tetapi juga bercampur dengan fatwa-fatwa para sahabat.

---

Peran Umar bin Abdul Aziz

Ketika kekhalifahan dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz (yang sering disebut khalifah kelima), beliau memandang perlu untuk menjaga hadis agar tidak bercampur dengan pendapat sahabat.

Beliau mengirim surat kepada Abu Bakar bin Hazm, seorang ulama di Madinah, agar mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah ﷺ secara murni, tidak bercampur dengan perkataan sahabat. Umar bin Abdul Aziz khawatir bila para ulama wafat, ilmu hadis ikut hilang.

Abu Bakar bin Hazm pun melaksanakan perintah ini. Namun, pekerjaan besarnya baru rampung setelah wafatnya Umar bin Abdul Aziz.

---

Munculnya Masalah Baru

Setelah itu, mulai tampak adanya perawi yang lemah hafalannya, salah dalam memahami, bahkan ada yang munafik. Dari sinilah muncul hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah ﷺ padahal bukan berasal dari beliau.

Melihat hal ini, para ulama ahli hadis merasa wajib menjaga kemurnian hadis. Mereka menyingkap keadaan para perawi: apakah hafalannya kuat, pemahamannya benar, atau justru ada niat buruk dalam dirinya. Dari sinilah lahir kaidah-kaidah ilmu hadis yang sangat detail dan ketat, agar hadis-hadis palsu tidak masuk ke dalam hadis Nabi ﷺ yang sahih.

---

Kodifikasi Hadis

Pada awalnya, hadis hanya ditulis di lembaran-lembaran secara acak, tanpa aturan dan tanpa bab. Bahkan masih bercampur dengan fatwa sahabat, sebagaimana tampak dalam Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.

Namun kemudian, ulama berpandangan untuk memisahkan antara hadis Nabi ﷺ dengan pendapat sahabat. Maka pada abad kedua hingga awal abad ketiga Hijriah, muncullah karya-karya hadis yang lebih teratur, dengan metode penulisan berbeda-beda.

Dari sini lahir berbagai jenis kitab hadis, di antaranya:

- Musnad (Masanid): kitab yang menghimpun hadis berdasarkan perawi sahabat.

- Sunan: kitab hadis yang disusun berdasarkan bab fikih.

- Shahih: kitab yang khusus berisi hadis sahih.

- Ma‘ajim: kitab hadis yang disusun sesuai nama perawi atau urutan tertentu.

Kitab-kitab inilah yang menjadi rujukan utama dalam ilmu hadis.

---

Penutup

Demikian pengantar mengenai sejarah penulisan hadis, mulai dari masa tabi‘in hingga kodifikasi hadis. InsyaAllah pada pertemuan berikutnya kita akan membahas lebih rinci tentang jenis-jenis kitab hadis: Musnad, Sunan, Shahih, dan Ma‘ajim.

Wassalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Penjagaan dan penulisan hadis

 Kuliah ulumul hadis (2)

Penjagaan dan Penulisan Hadis Nabi ﷺ

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, washalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wasahbihi ajma’in.


Pada kesempatan kali ini, kita akan mempelajari salah satu kitab karya Syekh Dr. An-Nabawiyah yang membahas tentang hadis Nabi ﷺ dan juga ilmu balaghah. Namun, fokus pembahasan kita kali ini adalah hadis Nabi Muhammad ﷺ, khususnya mengenai kaifa hufizha wa tumidauna al-hadits — bagaimana hadis itu dijaga, ditulis, serta sampai kepada kita.


1. Cara Sampainya Al-Qur’an dan Hadis

Syekh menjelaskan bahwa Al-Qur’an dan hadis sampai kepada kita melalui dua jalur utama:

1. Talaqqi Asy-Syafahi — yaitu melalui hafalan dari mulut ke mulut.

2. Tadwin al-Kitabah — yaitu melalui penulisan tangan.


Al-Qur’an sampai kepada kita dengan dua cara tersebut, demikian pula hadis Nabi ﷺ. Namun, pada fase awal, jalur utama yang lebih ditekankan adalah hafalan (asy-syafahi).

2. Kekuatan Hafalan Bangsa Arab

Mengapa hafalan menjadi metode utama?

Para sahabat memiliki fasahah bahasa Arab yang murni, pikiran yang jernih, serta lingkungan yang mendukung daya ingat mereka. Hidup di padang pasir tanpa kesibukan budaya yang kompleks, mereka mudah menghafalkan syair, pidato, maupun hikmah-hikmah para hukama.


Bukti lain adalah sampai kepada kita syair-syair jahiliyah dan mu‘allaqat (syair-syair yang digantung di Ka’bah). Semua itu bertahan karena tradisi hafalan yang kuat. Maka, ketika datang Islam, para sahabat pun dengan semangat menghafalkan hadis-hadis Nabi ﷺ, sebagaimana mereka terbiasa menghafal syair.

3. Hubungan Sahabat dengan Nabi ﷺ

Para sahabat memiliki keterikatan (ta‘alluq) yang kuat dengan Rasulullah ﷺ. Mereka sadar bahwa ucapan beliau bersumber dari cahaya kenabian. Karena itu, mereka mengerahkan segenap usaha untuk menghafalkan hadis-hadis yang beliau sampaikan.


Contohnya, Anas bin Malik berkata:

"Apabila kami mendengar hadis dari Rasulullah ﷺ, lalu pulang, kami saling mengingat-ingat dan saling mengulanginya di antara kami."

4. Peran Abu Hurairah

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai periwayat hadis yang terbanyak. Beliau berkata:


"Aku membagi malamku menjadi tiga bagian: sepertiga untuk shalat, sepertiga untuk tidur, dan sepertiga untuk mengulang-ulang hadis Rasulullah ﷺ."


Ini menunjukkan kesungguhan beliau dalam menjaga hadis melalui hafalan.

5. Larangan Penulisan Hadis di Awal Islam

Pada awal dakwah, Nabi ﷺ melarang penulisan hadis selain Al-Qur’an. Beliau khawatir hadis akan bercampur dengan Al-Qur’an, mengingat para sahabat masih baru mengenal gaya bahasa Al-Qur’an dan belum terbiasa membedakan antara uslub (gaya bahasa) wahyu dan ucapan Nabi.


Rasulullah ﷺ bersabda:

"Janganlah kalian menulis dariku selain Al-Qur’an. Barang siapa menulis selain Al-Qur’an dariku, hendaklah ia menghapusnya." (HR. Muslim, dari Abu Sa‘id al-Khudri)

6. Perubahan Hukum: Penulisan Hadis Diperbolehkan

Ketika para sahabat sudah terbiasa dengan gaya bahasa Al-Qur’an dan tidak lagi dikhawatirkan mencampurinya dengan hadis, Rasulullah ﷺ mengizinkan penulisan hadis.


Contohnya adalah Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata:


"Aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah ﷺ. Namun, aku dicegah oleh sebagian Quraisy, karena mereka berkata: Rasulullah juga berbicara dalam keadaan marah maupun ridha. Lalu aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah ﷺ. Beliau menunjuk mulutnya dan bersabda: Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar darinya kecuali kebenaran."


Abu Hurairah pun mengakui:

"Tidak ada seorang pun sahabat Nabi ﷺ yang lebih banyak meriwayatkan hadis daripada aku, kecuali Abdullah bin Amr, karena ia menulis sedang aku tidak."

7. Kesimpulan Para Ulama

Dengan demikian, hadis-hadis yang melarang penulisan dan yang membolehkannya tidak bertentangan. Larangan berlaku pada awal Islam, saat dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an. Setelah para sahabat terbiasa, Nabi ﷺ membolehkan bahkan mendorong penulisan hadis.


Di masa tabi‘in (generasi setelah sahabat), penulisan hadis semakin meluas dan berkembang. Dari sinilah kemudian lahir kodifikasi hadis yang lebih sistematis hingga sampai kepada kita dalam bentuk kitab-kitab hadis yang terkenal seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan lainnya.

Penutup

Dari uraian ini, jelas bahwa hadis Nabi ﷺ terjaga melalui dua jalur: hafalan yang kuat dari para sahabat dan penulisan yang kemudian dilakukan secara resmi. Semua itu merupakan bukti perhatian besar umat Islam sejak awal terhadap sunnah Rasulullah ﷺ, sehingga sampai kepada kita dalam keadaan terjaga.


Wallahu a‘lam bish-shawab.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Hadis, sunnah, khabar dan atsar (1)

 Kuliah ulumul hadis 1

Memahami Definisi Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.


Sering kali kita mendengar istilah hadis, baik dalam kajian agama maupun percakapan sehari-hari. Namun, tidak sedikit di antara kita yang belum memahami secara jelas apa sebenarnya definisi hadis, apa bedanya dengan sunnah, khabar, atsar, serta bagaimana perbedaan antara hadis Nabawi dan hadis Qudsi.


Dalam kesempatan ini, kita merujuk pada penjelasan Syekh Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya fi al hadis al syarif wa al balaghah an anabawiyah, yang membahas secara sistematis persoalan ini.

Definisi Hadis

Secara bahasa Arab, kata hadis bermakna lawan dari qadim (sesuatu yang lama). Ia juga berarti ucapan atau perkataan manusia dalam percakapan sehari-hari.


Namun, dalam istilah ilmu hadis, hadis adalah:


Segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (persetujuan beliau terhadap suatu perbuatan sahabat), maupun sifat beliau.


Dengan demikian, hadis mencakup:

- Perkataan Nabi ﷺ (qaul)

- Perbuatan Nabi ﷺ (fi‘l)

- Ketetapan Nabi ﷺ terhadap sesuatu (taqrīr)

- Sifat fisik maupun akhlak Nabi ﷺ

Hadis dan Sunnah

Dalam istilah ilmu hadis, kata sunnah sering digunakan sebagai sinonim dari hadis. Keduanya sama-sama merujuk pada segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah ﷺ.


Meski demikian, sebagian ulama fikih memberikan penekanan berbeda pada istilah sunnah, sehingga dalam kajian fikih kadang ditemukan perbedaan detail. Namun secara umum, dalam ilmu hadis, hadis dan sunnah dianggap memiliki makna yang sama.

Hadis, Khabar, dan Atsar

Selain kata hadis dan sunnah, para ulama juga menggunakan istilah khabar dan atsar:


- Khabar: secara umum berarti berita. Kadang dipakai sebagai sinonim hadis. Namun sebagian ulama, terutama dari Khurasan, membedakan:

  • Khabar digunakan untuk riwayat yang sampai kepada Nabi ﷺ (disebut marfu‘).

  • Atsar digunakan untuk riwayat yang hanya sampai kepada sahabat atau tabi‘in (disebut mawquf).


- Atsar: kadang dipakai secara umum untuk semua riwayat, kadang pula khusus untuk perkataan atau perbuatan sahabat dan tabi‘in.

Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi

Setelah memahami istilah di atas, penting pula membedakan antara hadis Nabawi dan hadis Qudsi:


1. Hadis Nabawi

   Segala perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat Nabi ﷺ. Kalimat dan maknanya berasal dari beliau, tidak disandarkan langsung kepada Allah.


2. Hadis Qudsi

   Yaitu perkataan Nabi ﷺ yang beliau sandarkan kepada Allah ﷻ.

   - Lafazhnya dari Nabi ﷺ.

   - Maknanya berasal dari Allah ﷻ.


   Jika lafazhnya berasal langsung dari Allah, maka itu adalah Al-Qur’an.


Contoh Hadis Qudsi (HR. Bukhari dari Abu Hurairah):

Allah ﷻ berfirman:

“Ada tiga golongan yang Aku musuhi pada hari kiamat:

1. Orang yang berjanji atas nama-Ku kemudian mengingkarinya.

2. Orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya.

3. Orang yang mempekerjakan pekerja, setelah pekerja itu menyelesaikan tugasnya namun tidak diberi upah.”

Kesimpulan

Dari uraian ini dapat disimpulkan:


1. Hadis secara bahasa berarti “baru” atau “perkataan”. Secara istilah, hadis mencakup perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat Nabi ﷺ.

2. Sunnah dalam ilmu hadis memiliki makna yang sama dengan hadis.

3. Khabar dan atsar kadang dipakai sebagai sinonim hadis, namun dalam sebagian penggunaan dibedakan: khabar untuk riwayat sampai ke Nabi ﷺ, atsar untuk riwayat sahabat dan tabi‘in.

4. Hadis Nabawi adalah segala sesuatu dari Nabi ﷺ.

5. Hadis Qudsi adalah perkataan Nabi ﷺ yang beliau sandarkan kepada Allah, sedangkan Al-Qur’an adalah kalam Allah dengan lafaz dan makna dari-Nya langsung.


Semoga penjelasan ini membantu kita memahami lebih jelas istilah-istilah penting dalam ilmu hadis.


Wallahu a‘lam bish-shawab.

Ushul Fiqh - Istishab

 Ushul Fiqh: Dalil-dalil yang Diperselisihkan Ulama (Mukhtalaf Fih)


Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya.


Teman-teman, selamat datang kembali di channel ini. Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan pembahasan Ushul Fiqh, tepatnya bab keenam dari kitab Al-Khulashah fi Ushul al-Fiqh karya Dr. Muhammad Hasan Hitto.


Bab ini membahas tentang dalil-dalil mukhtalaf fih, yaitu dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya di kalangan ulama.


---------------------------------------------------------

Dalil yang Disepakati dan Diperselisihkan


Secara umum, ulama terbagi dalam dua sikap mengenai dalil:


1. Dalil yang disepakati (muttafaq ‘alaihi):

   Semua ulama sepakat bahwa dalil-dalil ini dapat dijadikan dasar istidlal (pengambilan hukum syar’i), yaitu:

   - Al-Qur’an

   - As-Sunnah

   - Ijma’

   - Qiyas


2. Dalil yang diperselisihkan (mukhtalaf fih):

   Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehannya dijadikan dalil. Contohnya:

   - Istihsan

   - Istishab

   - Maslahah Mursalah

   - Istiqra’ (penarikan kesimpulan)

   dan lain-lain.


Sebagai contoh, Imam Syafi’i menolak penggunaan istihsan sebagai dalil, sementara Imam Abu Hanifah menerimanya.


Dalam pertemuan ini, kita akan fokus pada istishab.


---------------------------------------------------------

Pengertian Istishab


Secara bahasa, istishab berasal dari kata musahabah yang berarti “menemani” atau “melekat”. Dalam istilah ushul fiqh, istishab adalah menetapkan suatu hukum pada keadaan sekarang, berdasarkan hukum yang telah tetap pada keadaan sebelumnya, selama tidak ada dalil yang merubahnya.


Contoh sederhana:

- Seseorang membeli sebuah rumah bertahun-tahun lalu. Selama tidak ada bukti bahwa rumah tersebut telah dijual kepada orang lain, maka hukum kepemilikan tetap berlaku. Rumah itu tetap miliknya.

- Contoh lain: seseorang berwudhu di pagi hari. Menjelang Zuhur ia ragu apakah wudhunya batal atau tidak. Maka hukumnya dikembalikan pada keadaan asal, yaitu ia masih dalam keadaan suci.


Sebaliknya, jika seseorang yakin wudhunya sudah batal, lalu ia ragu apakah sudah mengambil wudhu kembali atau belum, maka hukum asalnya adalah ia dalam keadaan tidak berwudhu.


---------------------------------------------------------

Macam-macam Istishab


Para ulama ushul membagi istishab dalam beberapa bentuk, di antaranya:


1. Istishab al-Ashl (tetapnya hukum asal):

   Ketika tidak ditemukan dalil syar’i yang baru, maka hukum dikembalikan pada asalnya.

   - Contoh: Seorang mujtahid mencari dalil tentang wajibnya puasa Rajab. Setelah diteliti, tidak ditemukan dalil yang mewajibkannya. Maka hukum asalnya adalah tidak wajib.


2. Menolak keraguan dengan keyakinan:

   Keyakinan yang sudah ada tidak bisa hilang hanya karena keraguan.

   - Contoh: orang yang sudah yakin berwudhu lalu ragu apakah batal atau tidak → dihukumi tetap berwudhu.


---------------------------------------------------------

Kedudukan Istishab


Mayoritas ulama ushul (jumhur) menerima istishab sebagai hujjah (dalil) dalam beristidlal. Namun, penggunaannya memiliki batasan: ia berlaku selama tidak ada dalil lain yang merubah hukum asal.


---------------------------------------------------------

Penutup


Demikian pembahasan ringkas mengenai istishab dalam ushul fiqh, yaitu salah satu dalil mukhtalaf fih. Semoga ini membantu kita memahami prinsip penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam menghadapi keraguan.


Contoh praktisnya:

- Jika yakin sudah berwudhu lalu ragu apakah batal, maka tetap dihukumi suci.

- Jika yakin sudah batal lalu ragu apakah sudah berwudhu lagi, maka tetap dihukumi batal.


Semoga bermanfaat.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kuliah Ushul Fiqh 1

 Mukadimah Ilmu Ushul Fiqh


Bismillāhirrahmānirrahīm.

Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah ﷺ. Pada kesempatan ini kita akan mempelajari salah satu ilmu yang sangat penting dalam Islam, yaitu Ushul Fiqh. Kitab yang akan kita baca adalah karya ringkas Dr. Muhammad Hasan Hitu. Hari ini kita mulai dengan membaca mukadimah sebagai pengantar untuk memahami gambaran umum tentang Ushul Fiqh.

---

Perkembangan Awal Ilmu Ushul Fiqh

Pada masa awal Islam, ilmu Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin dengan nama khusus belum dikenal. Sahabat, tabi‘in, dan tabi‘ut-tabi‘in tidak membutuhkan kaidah-kaidah tertulis dalam Ushul Fiqh, karena:

- Mereka memiliki kemampuan bahasa Arab yang sangat kuat.

- Dengan naluri bahasa tersebut, mereka bisa memahami maksud Al-Qur’an dan Hadis tanpa memerlukan rumusan kaidah formal.

Contohnya:

- Mereka tahu bahwa fa‘il (subjek dalam bahasa Arab) selalu dibaca raf‘ meski tanpa belajar ilmu Nahwu secara formal.

- Mereka juga memahami penggunaan lafaz “ma” untuk makna umum, serta pembedaan penggunaannya bagi yang berakal dan tidak berakal.

Dengan kata lain, walaupun belum ada istilah Ushul Fiqh, praktik dan penerapan kaidah-kaidahnya sudah berjalan secara alami di kalangan generasi Salaf.

---

Kebutuhan Menulis Kaidah

Seiring berjalannya waktu, wilayah Islam semakin luas. Generasi setelah Salaf tidak lagi memiliki kekuatan bahasa seperti para pendahulu. Maka, muncullah kebutuhan untuk menulis kaidah-kaidah agar:

1. Umat tidak salah memahami Al-Qur’an dan Hadis.

2. Hadis yang diriwayatkan melalui perantara (rawi-rawi) bisa diteliti kebenarannya.

Dari sinilah lahir cabang keilmuan:

- Ilmu Musthalah Hadis, yang awalnya merupakan bagian dari Ushul Fiqh (pembahasan tentang Sunnah), lalu berkembang menjadi disiplin tersendiri.

---

Perintis Ilmu Ushul Fiqh

Orang pertama yang menulis kitab khusus tentang Ushul Fiqh adalah Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh dalam kitabnya yang masyhur, ar-Risālah.

Setelah itu, para ulama dari berbagai mazhab menulis karya-karya dalam bidang ini sehingga Ushul Fiqh berkembang hingga mencapai bentuk yang matang seperti yang kita kenal sekarang.

---

Metode Penulisan Ushul Fiqh

Secara garis besar, metode penulisan Ushul Fiqh terbagi menjadi dua:

1. Ṭarīqatul Mutakallimīn (Metode Ahli Kalām)

   - Diikuti oleh jumhur ulama ushul (Maliki, Syafi‘i, Hambali, dan selain Hanafiyah).

   - Mereka menulis kaidah-kaidah Ushul secara teoritis, lengkap dengan dalil, tanpa terikat pada cabang fikih tertentu.

   - Dari kaidah besar itulah lahir furu‘ (cabang) fikih.

2. Ṭarīqatul Fuqahā’ (Metode Ahli Fikih)

   - Khususnya dipakai oleh ulama Hanafiyah.

   - Kaidah Ushul Fiqh disimpulkan dari cabang-cabang fikih yang sudah ditetapkan oleh imam mereka, terutama Imam Abu Hanifah.

   - Karena Imam Abu Hanifah tidak menuliskan Ushulnya secara khusus, murid-muridnya kemudian merumuskan kaidah berdasarkan fikih yang beliau ajarkan.

Perbedaan mendasar:

- Mutakallimīn → kaidah melahirkan cabang fikih.

- Fuqahā’ (Hanafiyah) → cabang fikih melahirkan kaidah.

---

Kitab-Kitab Penting dalam Ushul Fiqh

Dalam Ṭarīqatul Mutakallimīn:

- al-‘Umdah karya Abdul Jabbar.

- al-Burhān karya Imam al-Juwaini.

- al-Mustashfā karya Imam al-Ghazali.

- al-Ma‘hṣūl karya Fakhruddin ar-Razi.

- al-Ihkām karya Saifuddin al-Amidi.

- Ringkasannya: al-Minhāj karya al-Baidhawi, dan Mukhtashar al-Muntahā karya Ibn al-Hajib.

Kitab-kitab ini kemudian banyak diberi syarah hingga mencapai ratusan karya.

Dalam Ṭarīqatul Fuqahā’ (Hanafiyah):

- Ushul al-Bazdawi.

- al-Usul as-Sarakhsi.

- al-Manār karya an-Nasafi, yang menjadi rujukan penting dan banyak diberi syarah.

Gabungan Dua Ṭarīqah (Muta’akhkhirīn):

- Jam‘ul Jawāmi‘ karya Tajuddin as-Subki (Syafi‘i).

- at-Tahrīr karya Ibnul Humām (Hanafi).

Kedua kitab ini menggabungkan metode jumhur dan Hanafiyah, dan menjadi rujukan utama bagi ulama sesudahnya.

---

Penutup

Demikianlah pembahasan mukadimah tentang ilmu Ushul Fiqh:

- Perkembangannya dari masa Salaf.

- Kebutuhan menulis kaidah.

- Perintisnya, Imam asy-Syafi‘i.

- Perbedaan metode penulisan (Mutakallimīn & Fuqahā’).

- Kitab-kitab utama dalam Ushul Fiqh.

Mudah-mudahan kajian ini bermanfaat dan menambah pemahaman kita terhadap Ushul Fiqh, sebagai ilmu yang menjadi fondasi dalam berijtihad dan memahami hukum-hukum syariat.

Wallāhu a‘lam.


*Disarikan dari video kajian kitab Al Khulashoh Fii Ushul Fiqh karang Dr. Hasan Hito

Kisah Hijrah Nabi Muhammad

 Kisah Hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah

Disarikan dari video kajian sirah nabawiyah: https://youtu.be/g7QexUXRmg4?si=0DCEhMRLR6tFBC8I

Nabi besar Muhammad ﷺ hidup hingga usia 63 tahun. Pada usia 53 tahun, beliau berhijrah dari Makkah ke Madinah. Peristiwa hijrah itu terjadi pada hari Senin, 8 Rabiul Awal. Menariknya, beliau memasuki Madinah juga pada hari Senin. Setelah hijrah, beliau tinggal di Madinah selama 10 tahun hingga wafat di sana.

Kitab *Nurul Uyun fi Talkhish Sirati Aminin Ma’mun* tidak menjelaskan secara rinci alasan hijrah Rasulullah ﷺ ke Madinah. Namun, kita dapat memahami sebab-sebabnya dari berbagai riwayat.

---

Latar Belakang Hijrah

Setelah diusir dan mendapat perlakuan buruk dari penduduk Thaif, Rasulullah ﷺ mulai melebarkan dakwahnya. Semula beliau berdakwah kepada kaum Quraisy di Makkah, tetapi karena dakwah di sana tidak mendapat sambutan, beliau mengalihkan perhatiannya kepada kabilah-kabilah Arab yang datang berhaji ke Baitullah.

Walaupun haji sudah ada sejak masa jahiliyah, kebiasaan itu menjadi kesempatan Nabi ﷺ untuk menawarkan Islam kepada berbagai kabilah. Namun, hampir semua menolak, bahkan kerap diprovokasi oleh para pemimpin Quraisy agar tidak mendengarkan beliau.

Hingga suatu ketika, Nabi ﷺ bertemu dengan enam orang dari kaum Khazraj di sebuah tempat bernama Aqabah. Mereka adalah:

1. As’ad bin Zurarah

2. Auf bin Al-Harit

3. Rafi’ bin Malik

4. Qutbah bin Amir

5. Uqbah bin Amir

6. Jabir bin Abdullah

Enam orang ini mau mendengarkan dakwah Rasulullah ﷺ. Mereka teringat bahwa orang Yahudi di Madinah sering mengancam akan mengikuti nabi akhir zaman untuk memerangi kaum Aus dan Khazraj. Maka mereka berpikir, lebih baik mendahului orang Yahudi untuk beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Mereka berjanji untuk kembali pada musim haji berikutnya.

---

Baiat Aqabah Pertama

Setahun kemudian, jumlah mereka bertambah menjadi 12 orang. Mereka kemudian dibaiat oleh Rasulullah ﷺ. Nabi juga mengutus sahabat muda, Mus’ab bin Umair, untuk mengajarkan Islam di Madinah.

Mus’ab bin Umair, yang dahulu dikenal sebagai pemuda kaya raya dan dimanja ibunya, berubah total setelah masuk Islam. Beliau hidup sederhana dan sepenuhnya berjuang untuk agama. Bahkan ketika syahid di perang Uhud, kain kafannya tidak cukup menutupi seluruh tubuhnya.

Berkat dakwah Mus’ab, hampir seluruh rumah di Madinah mengenal Islam.

---

Baiat Aqabah Kedua

Pada musim haji berikutnya, datang lebih dari 70 orang, termasuk dua perempuan. Mereka dibaiat untuk menolong dan melindungi Rasulullah ﷺ. Inilah yang dikenal dengan Baiat Aqabah Kedua. Sejak saat itu, Islam semakin kuat di Madinah.

---

Perintah Hijrah

Sementara itu, di Makkah dakwah Nabi ﷺ semakin tertekan. Kaum Quraisy tidak hanya menolak, tetapi juga menyiksa dan menindas kaum muslimin. Akhirnya Rasulullah ﷺ mengizinkan para sahabatnya untuk hijrah ke Madinah.

Sebagian besar sahabat hijrah secara sembunyi-sembunyi, meninggalkan harta benda, rumah, dan keluarga demi menjaga iman mereka. Satu-satunya yang hijrah terang-terangan adalah Umar bin Khattab. Beliau dengan berani menantang siapa pun yang ingin menghalangi.

Adapun Nabi ﷺ sendiri berhijrah dengan penuh strategi. Bersama Abu Bakar, beliau bersembunyi di Gua Tsur. Allah melindungi mereka dengan mukjizat: sarang laba-laba dan burung merpati di pintu gua membuat Quraisy mengira tidak ada manusia di dalamnya.

---

Perjalanan ke Madinah

Dalam perjalanan, Nabi ﷺ dan Abu Bakar dibantu oleh putri Abu Bakar, Asma’, yang mengirim makanan secara sembunyi-sembunyi, serta penggembala yang menghapus jejak mereka dengan kambing-kambingnya.

Bahkan seorang pemburu hadiah yang awalnya mengejar Nabi untuk mendapatkan imbalan 100 ekor unta, akhirnya terjatuh berkali-kali dari kudanya. Ia pun menyadari bahwa Nabi dilindungi Allah dan berbalik membela beliau.

Sementara itu, Ali bin Abi Thalib diperintahkan Nabi ﷺ untuk tidur di tempat tidurnya agar Quraisy menyangka beliau masih di rumah. Ali juga bertugas mengembalikan barang-barang titipan orang Quraisy, sebab meskipun mereka menolak dakwah Nabi, mereka tetap mempercayakan amanah kepada beliau.

Akhirnya, dengan izin Allah, Nabi Muhammad ﷺ selamat sampai di Madinah.

---

Hikmah Hijrah

Hijrah menunjukkan bahwa perjuangan di jalan Allah penuh dengan ujian. Selama 11 tahun di Makkah, Rasulullah ﷺ dan para sahabat menghadapi caci maki, siksaan, dan penindasan. Namun dengan kesabaran dan tawakal, Allah bukakan jalan baru di Madinah.

Pelajaran penting bagi kita adalah: jangan berharap hidup di dunia selalu nyaman. Setiap orang beriman pasti diuji agar terlihat siapa yang benar-benar ikhlas kepada Allah ﷻ.

---

Demikianlah kisah hijrah Nabi Muhammad ﷺ. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kesabaran dan kegigihan beliau dalam memperjuangkan Islam.