Ushul Fiqh: Dalil-dalil yang Diperselisihkan Ulama (Mukhtalaf Fih)
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya.
Teman-teman, selamat datang kembali di channel ini. Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan pembahasan Ushul Fiqh, tepatnya bab keenam dari kitab Al-Khulashah fi Ushul al-Fiqh karya Dr. Muhammad Hasan Hitto.
Bab ini membahas tentang dalil-dalil mukhtalaf fih, yaitu dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya di kalangan ulama.
---------------------------------------------------------
Dalil yang Disepakati dan Diperselisihkan
Secara umum, ulama terbagi dalam dua sikap mengenai dalil:
1. Dalil yang disepakati (muttafaq ‘alaihi):
Semua ulama sepakat bahwa dalil-dalil ini dapat dijadikan dasar istidlal (pengambilan hukum syar’i), yaitu:
- Al-Qur’an
- As-Sunnah
- Ijma’
- Qiyas
2. Dalil yang diperselisihkan (mukhtalaf fih):
Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehannya dijadikan dalil. Contohnya:
- Istihsan
- Istishab
- Maslahah Mursalah
- Istiqra’ (penarikan kesimpulan)
dan lain-lain.
Sebagai contoh, Imam Syafi’i menolak penggunaan istihsan sebagai dalil, sementara Imam Abu Hanifah menerimanya.
Dalam pertemuan ini, kita akan fokus pada istishab.
---------------------------------------------------------
Pengertian Istishab
Secara bahasa, istishab berasal dari kata musahabah yang berarti “menemani” atau “melekat”. Dalam istilah ushul fiqh, istishab adalah menetapkan suatu hukum pada keadaan sekarang, berdasarkan hukum yang telah tetap pada keadaan sebelumnya, selama tidak ada dalil yang merubahnya.
Contoh sederhana:
- Seseorang membeli sebuah rumah bertahun-tahun lalu. Selama tidak ada bukti bahwa rumah tersebut telah dijual kepada orang lain, maka hukum kepemilikan tetap berlaku. Rumah itu tetap miliknya.
- Contoh lain: seseorang berwudhu di pagi hari. Menjelang Zuhur ia ragu apakah wudhunya batal atau tidak. Maka hukumnya dikembalikan pada keadaan asal, yaitu ia masih dalam keadaan suci.
Sebaliknya, jika seseorang yakin wudhunya sudah batal, lalu ia ragu apakah sudah mengambil wudhu kembali atau belum, maka hukum asalnya adalah ia dalam keadaan tidak berwudhu.
---------------------------------------------------------
Macam-macam Istishab
Para ulama ushul membagi istishab dalam beberapa bentuk, di antaranya:
1. Istishab al-Ashl (tetapnya hukum asal):
Ketika tidak ditemukan dalil syar’i yang baru, maka hukum dikembalikan pada asalnya.
- Contoh: Seorang mujtahid mencari dalil tentang wajibnya puasa Rajab. Setelah diteliti, tidak ditemukan dalil yang mewajibkannya. Maka hukum asalnya adalah tidak wajib.
2. Menolak keraguan dengan keyakinan:
Keyakinan yang sudah ada tidak bisa hilang hanya karena keraguan.
- Contoh: orang yang sudah yakin berwudhu lalu ragu apakah batal atau tidak → dihukumi tetap berwudhu.
---------------------------------------------------------
Kedudukan Istishab
Mayoritas ulama ushul (jumhur) menerima istishab sebagai hujjah (dalil) dalam beristidlal. Namun, penggunaannya memiliki batasan: ia berlaku selama tidak ada dalil lain yang merubah hukum asal.
---------------------------------------------------------
Penutup
Demikian pembahasan ringkas mengenai istishab dalam ushul fiqh, yaitu salah satu dalil mukhtalaf fih. Semoga ini membantu kita memahami prinsip penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam menghadapi keraguan.
Contoh praktisnya:
- Jika yakin sudah berwudhu lalu ragu apakah batal, maka tetap dihukumi suci.
- Jika yakin sudah batal lalu ragu apakah sudah berwudhu lagi, maka tetap dihukumi batal.
Semoga bermanfaat.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
No comments:
Post a Comment