Masa Kecil Nabi Muhammad SAW: Hikmah dan Perjalanan Pengasuhan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pada kesempatan ini, kita melanjutkan kajian sirah Nabawiyah tentang masa kecil Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kelahiran Nabi dan Tanda-Tanda Keistimewaan
Nabi Muhammad SAW lahir pada tahun Gajah, tepatnya tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Malam kelahiran beliau disertai peristiwa luar biasa: istana Kisra terguncang, Danau Sawa mengering, dan api abadi di Persia yang menyala selama seribu tahun padam. Semua itu menjadi tanda keistimewaan kedatangan Rasul terakhir.
Sejak lahir, Nabi Muhammad diasuh oleh ibunya, Aminah, dan kemudian disusui oleh beberapa ibu susuan, di antaranya Halimah As-Sa’diyah serta Tsuwaibah Al-Aslamiyah, budak Abu Lahab yang sempat dimerdekakan karena kabar gembira kelahiran beliau. Selain itu, beliau juga dirawat oleh Ummu Aiman (Barakah Al-Habasyiyah), seorang perempuan berkulit hitam yang diwariskan dari ayah beliau, Abdullah, dan kelak dimerdekakan lalu dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah.
Peristiwa Pembelahan Dada
Ketika kecil dan berada di perkampungan Bani Sa’ad, Nabi Muhammad SAW mengalami peristiwa pembelahan dada. Malaikat Jibril datang, membelah dada beliau, mengeluarkan bagian yang disebut “bagian setan”, lalu mencuci hati beliau dengan air zamzam di bejana emas.
Anak-anak yang menyaksikan peristiwa itu mengira Nabi terbunuh dan melapor kepada Halimah. Namun, Nabi hanya tampak pucat setelah kejadian tersebut.
Para ulama menjelaskan, peristiwa ini bukanlah sekadar fisik, melainkan simbol pemurnian ruhani sejak kecil. Menurut Syekh Ramadan Al-Buthi, hikmah utamanya adalah persiapan spiritual Nabi untuk menerima amanah besar sebagai Rasul. Bahkan, beberapa riwayat menyebutkan peristiwa pembelahan dada terjadi lebih dari sekali, termasuk menjelang Isra’ Mi’raj.
Yatim Sejak Dalam Kandungan
Sejak awal kehidupan, Nabi Muhammad SAW diuji dengan kehilangan orang tua. Ayahnya, Abdullah, wafat saat Nabi masih dalam kandungan. Ketika berusia 4 atau 6 tahun (terdapat perbedaan riwayat), ibunda beliau, Aminah, juga wafat. Sejak itu, beliau menjadi yatim piatu.
Pengasuhan Nabi kemudian berpindah kepada kakeknya, Abdul Muthalib, hingga wafat pada saat Nabi berusia sekitar 8 tahun. Setelah itu, tanggung jawab pengasuhan jatuh kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung Abdullah.
Perlindungan Abu Thalib
Abu Thalib bukan hanya menjadi pengasuh, tetapi juga pelindung Nabi hingga dewasa. Selama Abu Thalib hidup, orang-orang Quraisy tidak berani menyakiti Nabi karena wibawa beliau sebagai pemimpin suku. Bahkan, Abu Thalib terus membela Nabi meski tidak memeluk Islam.
Orang-orang Quraisy pernah mendesak Abu Thalib agar menghentikan dakwah keponakannya dengan imbalan harta, tahta, dan wanita. Namun, Nabi menjawab dengan tegas:
“Andaikan matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan meninggalkan dakwah ini.”
Setelah Abu Thalib wafat, barulah orang Quraisy berani menyakiti Nabi, hingga peristiwa-peristiwa menyedihkan terjadi, seperti beliau dilempari kotoran hewan saat shalat di Ka’bah atau kepalanya ditaburi tanah.
Hikmah Kehidupan Nabi Sejak Kecil
Dari perjalanan masa kecil Nabi Muhammad SAW, kita dapat melihat hikmah besar:
1. Beliau yatim piatu sejak dini agar tak ada yang menuduh risalahnya dipengaruhi orang tua.
2. Pengasuhan langsung dari Allah, sehingga akhlak beliau murni.
3. Lingkungan yang beragam — diasuh ibu susuan, budak, kakek, dan paman — membentuk ketangguhan beliau menghadapi berbagai kondisi.
4. Didikan ilahi tercermin dalam sabda beliau: “Tuhanku telah mendidikku, dan Dia memperindah pendidikanku.”
Masa kecil Nabi Muhammad SAW penuh ujian, namun setiap peristiwa justru menjadi persiapan untuk tugas besar beliau sebagai Rasul terakhir. Sejak awal, Allah sudah menyiapkan Nabi dengan cara yang tidak dimiliki manusia lain: melalui pembersihan jiwa, ujian kehilangan orang tua, dan perlindungan dari sosok-sosok penting di sekitarnya.
No comments:
Post a Comment