Hikmah Dunia: Menyikapi Ujian dan Nikmat dalam Kehidupan
Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, sahabat, dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.
Di pagi yang penuh berkah ini, kita bersyukur karena masih diberi nikmat oleh Allah untuk melaksanakan shalat Subuh berjamaah. Lebih dari itu, Allah memilih kita untuk duduk di majelis ilmu. Semoga langkah kecil ini menjadi pemberat amal kebaikan kita di akhirat kelak.
## Dunia: Tempat Ujian, Bukan Tempat Tujuan
Kita akan membahas hikmah ke-24 dari kitab Al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari. Beliau menulis:
"Janganlah engkau merasa heran dengan adanya ujian (al-qadar), karena dunia tidaklah menampakkan sesuatu kecuali sesuai dengan sifat aslinya."
Makna dari hikmah ini sangat dalam: selama kita masih hidup di dunia, pasti kita akan menghadapi ujian. Dunia ibarat ruang ujian bagi manusia. Ada kesulitan, ada penderitaan, ada cobaan. Tetapi jangan lupa, nikmat juga termasuk ujian.
Seorang mukmin yang baik akan bersabar saat ditimpa musibah, dan bersyukur saat mendapat nikmat. Kedua sikap ini sama-sama mendatangkan pahala. Inilah yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Semua urusannya baik baginya. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, dan itu pun baik baginya.”
## Perbedaan Mukmin dan Orang yang Tak Beriman
Bagi orang beriman, setiap kejadian di dunia — suka maupun duka — memiliki nilai di sisi Allah. Namun bagi orang yang tidak beriman, dunia dipandang sebagai akhir dari segalanya. Akibatnya, ketika musibah menimpa, mereka kehilangan pegangan dan putus asa.
Tak heran jika di negara-negara sekuler tingkat bunuh diri tinggi. Mereka tidak memiliki harapan akan adanya kehidupan setelah mati. Kehidupan dianggap berhenti sampai di liang lahat. Padahal, seorang mukmin yakin bahwa di balik setiap ujian ada balasan, dan setelah kematian ada kehidupan yang lebih abadi.
## Hidup dengan Harapan
Ada sebuah eksperimen menarik tentang tikus. Seekor tikus dimasukkan ke dalam air. Ia hanya mampu bertahan berenang sekitar 15 menit sebelum tenggelam. Namun ketika percobaan diulang, tikus tersebut ditolong sebelum tenggelam, diberi makan, lalu dimasukkan kembali ke air. Kali ini, ia bisa berenang lebih lama — bahkan berhari-hari. Apa sebabnya? Karena ia memiliki harapan untuk diselamatkan.
Demikian pula hidup manusia. Orang beriman tidak pernah kehilangan harapan. Ia yakin bahwa setelah terowongan gelap kehidupan dunia, ada cahaya dan taman-taman surga menanti. Inilah yang membuat seorang mukmin mampu menjalani hidup dengan tenang.
## Dunia: Persinggahan Sementara
Kita tidak bisa berharap dunia selalu memberi kebahagiaan. Kalau semua keinginan terpenuhi tanpa pernah sakit atau susah, di mana letak rasa butuh kita kepada Allah? Justru dengan adanya sakit, gagal, dan musibah, manusia belajar untuk kembali kepada-Nya.
Hidup manusia pun bergerak dalam fase: muda penuh semangat, paruh baya mulai tenang, dan tua semakin dekat dengan akhir perjalanan. Maka, dunia ibarat kain sutra yang tersangkut di duri-duri tajam: jika terlalu melekat, akan mudah robek dan menyisakan luka. Karena itu, seorang mukmin harus sadar bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara, bukan tujuan akhir.
## Dunia sebagai Dar Taklif (Tempat Beban dan Ujian)
Syekh Ramadan al-Buthi menegaskan bahwa dunia adalah dar at-taklif, tempat Allah memberikan beban berupa syariat. Shalat, puasa, zakat, semuanya adalah bentuk taklif. Maka, setiap mukmin yang baligh dan berakal otomatis menjadi mukallaf—orang yang wajib menjalankan syariat.
Kita tidak pernah meminta untuk lahir ke dunia. Tetapi begitu dilahirkan, kita diberi kebebasan untuk memilih: beriman atau kufur. Namun tentu saja, setiap pilihan memiliki konsekuensi.
## Refleksi untuk Kehidupan Sosial
Masalah bangsa kita sebenarnya berawal dari hal kecil: lupa kepada Allah. Banyak orang shalat di masjid, tapi begitu keluar, lupa akan Allah. Akibatnya, lahirlah korupsi, kerusakan moral, dan perilaku tidak disiplin.
Padahal, Islam telah mengajarkan kebersihan (an-nazhafatu minal iman). Namun kenyataannya, sampah berserakan di jalan. Mengapa? Karena pendidikan dalam keluarga lemah. Keluarga adalah madrasah pertama, terutama peran ibu. Anak-anak belajar disiplin, kebersihan, dan akhlak pertama kali dari rumah.
Jika setiap keluarga berkomitmen menerapkan nilai Islam sejak dini, insyaAllah bangsa ini bisa lebih baik. Perubahan tidak harus menunggu pemerintah; bisa dimulai dari rumah masing-masing.
## Penutup: Semua Urusan Mukmin Itu Baik
Sebagai penutup, mari kita ingat kembali sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Semua urusannya baik baginya, dan itu hanya berlaku bagi orang mukmin. Apabila ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Apabila ia tertimpa musibah, ia bersabar, dan itu pun baik baginya.”
Apapun yang menimpa kita—suka atau duka—semua adalah ujian. Yang penting adalah bagaimana cara kita merespons: sabar ketika diuji, syukur ketika diberi nikmat.
Semoga kita semua dimudahkan untuk menjadi hamba-hamba Allah yang sabar, syukur, dan senantiasa istiqamah dalam ibadah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
No comments:
Post a Comment